Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 08:00 WIB | Kamis, 30 Juni 2016

Komnas HAM Apresiasi Buku Palu dan Godam Melawan Keangkuhan

Saat peluncuran buku mantan Wali Kota Palu Rusdy Mastura dengan judul "Palu dan Godam Melawan Keangkuhan Kisah di Balik Permohonan Maaf Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa 1965-1966". (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengapresiasi peluncuran buku yang ditulis oleh mantan Wali Kota Palu, Rusdy Mastura, dengan judul "Palu dan Godam Melawan Keangkuhan Kisah di Balik Permohonan Maaf Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa 1965-1966".

Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengisahkan bahwa Rusdy berusaha mengentaskan kemiskinan masyarakat di Palu yang merupakan korban pelanggaran HAM peristiwa 1965-1966.

Selain itu, kata Nur Kholis, Rusdy menyakini cukup banyak masyarakat sekitar yang sesungguhnya peduli dan bersedia mengangkat mereka dari jurang kemiskinan hanya apabila ada bingkai politik yang melantarbelakangi mereka.

Namun, kata Nur Kholis, stigma masyarakat begitu kuat dan membabi buta terhadap mereka yang telah teridentifikasi sebagai keluarga komunis.

“Hal ini telah menyebarkan ketakutan masyarakat sekitar, dan begitu sangat khawatir akan dicap sebagai komunis apabila mereka berani mengulurkan bantuan, bahwa mucul istilah 'komunis gaya baru' untuk mereka yang memilih berani menerobos 'larangan' masyarakat tersebut. Rusdy telah berupaya menghilangkan budaya masyarakat yang menjumudkan tersebut,” kata Nur Kholis di kantor Komnas HAM, jalan. Latuharhary nomor 4 B Menteng Jakarta Pusat, hari Rabu (29/6).

Keberaninan Rusdy, kata Nur Kholis, menyebabkan sebagian masyarakat tidak lagi enggan menebar kebaikan terhadap sesamanya. Awalnya hanya pada forum-forum terbatas namun berkembang pada forum yang lebih luas.

“Mereka semakin menyakini bahwa untuk menunjukkan mereka benar, mereka harus berani bicara. Inilah yang kemudian menyakini Rusdy bahwa demi HAM, permintaan maaf itu harus dilakukan, bagaimana bentuknya apa konsekuensinya dan bagaimana hasilnya, dalam buku yang ditulis Rusdy ini mengupasnya secara tuntas,” kata dia.

Menurut Nur Kholis upaya penyelesaian dampak dari peristiwa 1965-1966 telah berujung pada dua pilihan yaitu proses hukum melalui pengadilan atau proses non hukum melalui mekanisme rekonsiliasi antara para pihak yang terlibat dalam peristiwa itu.

“Hasil penyelidikan Komnas HAM untuk enam kasus pelanggaran HAM yang berat dan hingga kini belum dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan dengan alasan belum memenuhi ketentuan terkait dengan sejumlahaspek formil dan meteriil. Semakin menguatkan upaya penyelesaian melalui mekanisme rekonsiliasi sebagai salah satu opsi utama yang menguat untuk ditempuh, dan berbagai lembaga dan pejabat juga telah melakukan langkah-langkah ke arah persiapan rekonsiliasi baik secara kelembagaan di tingkat nasional maupun daerah,” kata dia.

Di tingkat nasional, kata Nur Kholis, Komnas HAM bersama-sama dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan serta Kejaksaan Agung telah menyelenggaraan Simposium Nasional 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan' pada 18 sampai dengan 19 April 2016, sementara di tingkat daerah lanjut Nur Kholis, ketima menjadi wali kota Palu, RUsdy telah melakukan komunikasi intensif dengan stakeholder terkait di Kota Palu, dan kemudian menerbitkannya dalam bentuk buku.

Kemudian, kata Nur Kholis, dengan upaya pemulihan hak-hak korban peritiwa 1965-1966, Komnas HAM sesuai mandat Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dapat mendorong penyelesaian melalui mekanisme konsiliasi yang hasil akhirnya diharapkan akan terwujud dalam bentuk rekonsiliasi nasional.

“Untuk itu, Komnas HAM memandang perlu menfasilitasi stakeholders guna mengumpulkan data, fakta dan informasi terkait dengan peristiwa 1965-1966 khususnya di Wilayah Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, serta mengidentifikasi opsi-opsi pemulihan hak-hak korban peritawa tersebut," kata dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home