Komnas Perempuan: Perppu Kebiri Tak Selesaikan Masalah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur tentang tambahan hukuman kebiri untuk pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak menyelesaikan masalah pokok. Justru tambahan hukuman tersebut malah menambah persoalan.
“Hukuman (yang diatur di dalam) Perppu baru malah menimbulkan masalah baru,” kata dia dalam diskusi Mencari Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual dan Hukuman bagi Pelaku, di KeKini Café Jalan Cikini Raya no 45, Jakarta Pusat, hari Selasa (31/5).
Misalnya, pemerintah harus menyediakan anggaran khusus untuk melakukan hukuman kebiri bagi pelaku dan dampak serius kesehatan bagi pelaku yang menjalani hukuman kebiri secara kimiawi. Selain itu, dia juga menilai pemerintah tidak konsisten terhadap konstitusi kehidupan warga negara di mana menurut undang-undang, negara tidak berhak mencabut atau menghilangkan hak hidupnya sebagai warga negara.
Menurut dia, upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menindak pelaku kejahatan seksual adalah dengan konsisten terhadap hukuman pidana tanpa remisi. Kemudian, memberikan pelayanan konseling terhadap pelaku selama di penjara agar saat pelaku keluar dari penjara, diharapkan pola pikirnya sudah berubah.
Selain itu, infrastruktur hukum juga harus diperhatikan dan diperbaiki. Misalnya, ketika korban melapor kepada pihak yang berwajib bahwa dia telah menjadi korban tindak kekerasan seksual. Biasanya, yang terjadi di lapangan pihak yang berwajib tidak memiliki rasa simpati kepada korban.
Bahkan, tak jarang mereka menyalahkan korban dengan alasan berpakaian tak pantas sehingga mengundang hasrat laki-laki atau melakukan mediasi antara pelaku dan korban dengan alasan hubungan relasi mereka adalah sepasang kekasih.
Sementara itu, Aktivis dari Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak Dr. Supriyatiningsih mengungkapkan sebaiknya advokasi terhadap aparat penegak hukum mengenai organ reproduksi laki-laki dan perempuan harus dilakukan.
“Sudah waktunya penegak hukum diajarkan kursus tentang organ reproduksi. Karena kenyataan hukuman tidak maksimal. Urusan kekerasan tidak hanya sekadar lecet, nyeri atau hamil. Kita lupa bahwa kita harus bersimpati terhadap masa depan korban,” kata dia.
Seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang mengajak bupati-bupati di Jawa Tengah ke KPK untuk mempelajari soal grativikasi. Menurut Dr. Upi, sapaan Supriyatiningsih, hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap para penegak hukum supaya mereka paham bagaimana harus bersikap ketika ada laporan mengenai kekerasan seksual.
Dia juga menambahkan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak juga harus memperhatikan kondisi psikologis korban tindak kekerasan seksual. Misalnya dengan konseling yang dibiayai oleh negara dan perlindungan hukum dan sosial terhadap korban dan keluarga korban.
“Saya lihat setiap ada laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jerman, petugas pengamanan langsung mengambil korban dan keluarga untuk diamankan agar tidak terjadi bullying,” kata dia.
Obituari: Mantan Rektor UKDW, Pdt. Em. Judowibowo Poerwowida...
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Mantan Rektor Universtias Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Dr. Judowibow...