Komnas Perempuan: Stop Pengusiran Berdalil Beda Keyakinan!
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komnas Perempuan mengeluarkan pernyataan sikap terhadap pengusiran Jemaat Ahmadiyah Sungailat, Provinsi Bangka Belitung, dalam siaran pers yang diterima oleh satuharapan.com, hari Kamis (4/2). Komnas Perempuan memberikan judul pernyataan sikapnya itu dengan ungkapan “Hentikan Pengusiran atas Dasar Perbedaan Keyakinan dan Lindungi Warga Negara Tanpa Diskriminasi”.
Sejak tahun 2012, Komnas Perempuan telah mendokumentasikan tindakan inkonstitusional yang dilakukan dan dibiarkan negara melalui Pelapor Khusus Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan.
Tindakan inkonstitusional yang dibiarkan negara tersebut berupa pernyataan sesat, pengusiran dan ancaman pengusiran, dan fasilitasi pemindahan paksa yang berdampak pada kekerasan yang dialami kelompok minoritas beragama seperti kelompok Syiah, Ahmadiyah, Gafatar, dan kelompok lainnya. Kebijakan pengusiran ini kerap mengacu pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang kelompok-kelompok tertentu yang dianggap sesat.
Komnas Perempuan menyikapi ancaman pengusiran paksa Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Srimenanti, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Propinsi Bangka Belitung, oleh Bupati Bangka, Tarmizi Saat, dengan menyampaikan kecaman dan menyatakan tindakan tersebut sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembangkangan terhadap konstitusi.
Konstitusi Negara Republik Indonesia telah menjamin setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945). Konstitusi juga menjamin setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya (Pasal 28E ayat (2) UUD 1945).
Oleh karena itu, ancaman pengusiran terhadap warga yang dilakukan oleh kepala daerah merupakan tindakan inkonstitusional yang seharusnya tidak perlu terjadi, dan pembiaran pengusiran dan fasilitasi pemindahan paksa oleh negara akan menjadi preseden buruk cara berbangsa.
Temuan Komnas Perempuan dalam memantau sejumlah konflik berbasis agama/ keyakinan menunjukkan pengusiran berimplikasi pada kesengsaraan dan pemiskinan akibat tercerabutnya hak hidup dan akses penghidupan. Pengusiran tidak jauh beda dengan pengambilalihan asset, baik secara langsung ataupun tidak langsung, yang berdampak pada pemiskinan komunitas yang diusir. Pemiskinan juga sangat signifikan memicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Dari seluruh kasus penyesatan yang berujung pada pengusiran atau pemindahan paksa suatu komunitas, menyebabkan perempuan dari komunitas tersebut rentan mengalami kekerasan berlapis dan multi dimensi, bukan hanya pencerabutan hak ekosob, pemiskinan yang tiba-tiba dan merentankan perempuan, perkawinan gantung, cerai paksa, ancaman kekerasan seksual dari komunitas penyerang, isolasi dan pembatasan mobilitas, tertutupnya akses ekonomi, hingga terdiskriminasi dalam mengakses layanan publik.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Gubernur Bangka Belitung, Rustam Effendi, agar memerintahkan Bupati Bangka, Tarmizi Saat, untuk membatalkan kebijakan pengusiran terhadap Jemaat Ahmadiyah Sungailiat atau menggunakan kewenangan sebagai gubernur untuk membatalkan kebijakan tersebut jika bupati Bangka tidak membatalkannya, sebagaimana yang diatur oleh pasal 251 UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Komnas Perempuan juga meminta penjelasan DPRD Kabupaten Bangka dalam rangka pengawasan atas kebijakan pemerintah dalam kerangka perlindungan warga negara atas hak kebebasan menjalankan agama/ kepercayaan sebagaimana mandat Pasal 29 UUD 1945.
Komnas Perempuan kepada Presiden RI, Jokowi, menyampaikan agar melakukan upaya pencegahan dan memastikan tindakan kekerasan dalam menyikapi perbedaan agama/ keyakinan/ kepercayaan tidak lagi berulang.
Komnas Perempuan ingin Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Agama RI untuk mengembangkan mekanisme antisipasi kekerasan atau diskriminasi terhadap kelompok yang disesatkan, paska fatwa sesat MUI, memberikan arahan kebijakan dan menugaskan kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan semua kebijakan inkonstitusional dan diskriminatif yang berpotensi melahirkan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia, memastikan seluruh kepala daerah menjalankan kewajibannya menghormati, memajukan, melindungi, dan memenuhi Hak Asasi Manusia warga negara, apapun kondisi dan latar belakangnya, serta memberi sangsi kepada Pemerintah Daerah yang diskriminatif, memicu, dan memfasilitasi tindakan intoleran serta tidak taat terhadap konstitusi.
Presiden Jokowi juga diminta oleh Komnas Perempuan memerintahkan Kepala Kepolisian RI untuk mencegah dan menindak tegas para pelaku kekerasan dan intoleransi, terutama kelompok intoleran yang anarkis atas nama agama, memerintahkan kementerian atau lembaga terkait untuk melakukan upaya pemulihan terhadap kelompok minoritas beragama seperti kelompok Syiah, Ahmadiyah, dan kelompok-kelompok lain yang menjadi korban penyesatan dan pengusiran, baik berupa ganti rugi atas kerusakan materil ataupun pemulihan terhadap trauma psikologis yang mereka derita, serta membangun upaya-upaya rekonsiliasi dan perdamaian di tingkat masyarakat, dan memperkuat penghargaan terhadap keberagaman.
Editor : Eben E. Siadari
Penyakit Pneumonia Terus Menjadi Ancaman bagi Anak-anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, mengatakan, pneumonia ser...