Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 10:05 WIB | Jumat, 18 November 2016

Komunitas Teologi Afrika bagian Timur Diskusikan Disabilitas

Ilustrasi. Peserta forum yang membahas peran disabilitas dalam gereja yang diselenggarakan Ecumenical Disability Advocates Network (EDAN) dari World Council of Churches (WCC) di Dewan Gereja di Tanzania (Council of Churches in Tanzania/CCT) mulai Senin (7/11) sampai dengan Jumat (11/11) di Arusha, Tanzania. (Foto: oikoumene.org)

ARUSHA, SATUHARAPAN.COM – Dua puluh pemimpin gereja dari Kenya, Uganda dan Tanzania membahas pendalaman inklusi, partisipasi dan keterlibatan aktif para penyandang disabilitas dalam kehidupan spiritual, sosial, ekonomi dan struktural gereja dan masyarakat.

Forum ini diselenggarakan oleh Ecumenical Disability Advocates Network (EDAN) dari World Council of Churches (WCC) atau Jaringan Advokasi Ekumenis pada Dìsabilitas Dewan Gereja Dunia dan bertempat di Dewan Gereja di Tanzania (Council of Churches in Tanzania/CCT) mulai Senin (7/11) sampai dengan Jumat (11/11)  di Arusha, Tanzania. 

Seperti diberìtakan oikoumene.org, hari Kamis (17/11), peserta menegaskan telah banyak usaha dilakukan dalam beberapa tahun terakhir untuk memperdalam pemahaman, penerimaan dan integrasi para penyandang dìsabilitas di gereja dan masyarakat. Namun masih banyak yang harus dilakukan gereja untuk membantu kelompok disabilitas tidak hanya dalam kehidupan rohani di dalam gereja, juga dalam struktur pengembangan dan kekuatannya.

Kepala Keuskupan dari Evangelical Lutheran Church of Tanzania (ELCT), Uskup Dr Fredrick Onael Shoo, mengirim pernyataan pembukaan forum yang dibacakan dari Keuskupan ELCT Utara, Uskup Solomon Jacob Massangwa. Pernyataan itu berbunyi: “Masyarakat yang inklusif, meskipun disajikan dengan baik dan disebutkan oleh badan-badan internasional dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) 2016 - 2030, bagi kebanyakan dari kita, khususnya gereja tradisional, terus menjadi fenomena baru. Pemimpin gereja, umat dan orang awam memahami dìsabilitas sebagai kutukan dari Allah yang pendendam, oleh karena itu bila ingin mendiskusikan tentang   penyandang dìsabilitas kadangkala dianggap sebagai kekejian,” sebut pernyataan tersebut.

Saat ini masih ada kebutuhan untuk meningkatkan sensitivitas dan dialog guna meningkatkan kesadaran pemisahan dosa dan dìsabilita. Gereja harus dibantu melihat penyandang disabilitas tidak hanya sebagai orang yang hanya menerima apa yang orang lain berikan, tetapi sebagai peserta penuh dalam kehidupan gereja. Pemimpin gereja seharusnya mempelajari dan merefleksikan diri pada bahan World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia tentang disabilitas, mengeksplorasi pertanyaan terkait dengan implikasi dari kegagalan teologi dalam membedakan kategori penyandang dìsabilitas.

Mereka juga membahas penyembuhan sebagai hal yang  penting untuk penyandang dìsabilitas di gereja dan masyarakat di abad ke-21, karena hal tersebut membuat penyandang dìsabilitas merasa dihargai.

Sementara berbagi pengalaman mereka dalam pekerjaan yang berhubungan dengan pendampingan dìsabilitas  wakil dari Gereja Anglikan Kenya, Keuskupan Kirinyaga, Ven. Benson Maina Thungururu memuji fakta EDAN yang memperkenalkan wacana dìsabilitas untuk lembaga teologis, kebanyakan dari para imam di keuskupannya pergi melalui St Paul University Limuru di mana mereka melakukan studi kedìsabilitasan sebagai salah satu bahan perkuliahan.

Keuskupan ini memiliki kebijakan bahwa semua gereja harus memiliki cara dan setidaknya satu wakil di paroki dengan pengetahuan tentang bahasa isyarat.

Wakil dari Gereja Uganda, Pendeta Canon Nason Baluku,  mencatat gereja di Uganda tertarik membuat sekolah untuk anak-anak penyandang dìsabilitas namun tidak ada perhatian secara tindak lanjut dalam kehidupan spiritual para penyandang dìsabilitas setelah meninggalkan sekolah tersebut.

Pemimpin gereja sepakat inklusi masih terbatas pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan gereja, meskipun gereja telah mengambil beberapa langkah untuk memberi perhatian kepada penyandang dìsabilitas.

Para pemimpin gereja juga mengacu kepada “United Nations Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD)” atau Konvensi PBB tentang Hak-hak kaum penyandang dìsabilitas dan bagaimana mereka dapat menggunakannya untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak penyandang dìsabilitas.

Untuk memahami kedìsabilitasan dimasukkan dalam pembangunan di tingkat praktis, para pemimpin gereja dibawa melalui salah satu proyek pembangunan inklusif yang diterapkan EDAN di Afrika bagian Timur.

Di masa mendatang peserta sepakat bahwa gereja harus  menjadi sebuah komunitas yang benar-benar inklusif sehingga gereja harus mengembangkan struktur untuk memasukkan penyandang dìsabilitas. Gereja harus memungkinkan penyandang dìsabilitas untuk membuat keputusan mereka sendiri dan mengembangkan bakat mereka; dan gereja harus mempromosikan pemahaman dan bekerja dengan para penyandang dìsabilitas dalam masyarakat. (oikoumene.org)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home