Konas Muger: Perkembangan Musik Gereja Penuh Perdebatan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Perdebatan tentang penggunaan musik gereja menurut Dosen Program Studi Musik Sekolah Tinggi Teologi Seminari Alkitab Asia Tenggara (STT SAAT), Ev. Samuel E. Tandei, sudah digumulkan sejak berabad-abad yang lalu, dan bukan hanya terjadi saat ini saja di acara Konsultasi Nasional Musik Gereja (Konas Muger) 2014.
Acara tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Musik Gereja (Yamuger) bertema “Nyanyikanlah Nyanyian Baru Bagi Tuhan (Mazmur 96:1A)”, dengan subtema yaitu pengembangan dan pelayanan musik gereja serta gerakan bersatu melalui Kidung Keesaan, di Graha Bethel Indonesia, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (16/6).
Lulusan Southern Baptist Theological Seminary, Kentucky, USA di bidang musik gereja ini kemudian memaparkan, perkembangan musik gereja berawal dari adanya kaum yang tidak menyukai tata cara liturgi gereja Anglikan di Inggris kemudian memisahkan diri menjadi gereja independen (free churches). Pada abad 16 terjadi reformasi gereja, ketika itu Martin Luther membuat suatu liturgi dalam bahasa Jerman yang mirip seperti gereja Katolik.
Jadi, lanjut Samuel, gereja independen merupakan gereja-gereja yang bukan tradisi Katolik ataupun gereja Anglikan atau pemerintah di Inggris, umumnya mereka beraliran mainstream Protestan.
Dalam liturgi gereja independen juga terjadi perkembangan musik vokal. Gereja independen melakukan simplifikasi terhadap liturgi, mereka hanya mengutamakan firman, doa, pujian, sakramen dan meniadakan aksesoris seperti jubah yang digunakan pemuka agama, lilin, dan lain sebagainya.
Pada abad 19-20, lagu-lagu negro-spiritual mulai berkembang saat itu, membentuk suatu tradisi musik gospel. Hal itu terjadi karena adanya satu gerakan yang dipengaruhi oleh kaum Afro-Amerika yang membebaskan diri bukan dari gereja Anglikan seperti gerakan gereja independen sebelumnya, melainkan dari perbudakan dan segregasi (pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya, Red).
Pada abad ke-20 itu juga ada satu gerakan juga yang memisahkan diri dari mainstream Protestan tersebut, yang kemudian disebut gereja pentakosta atau neo-pentakosta karismatik.
Terjadilah trikotomi gereja oleh Ulrich Zwingli, John Calvin dan Martin Luther. Zwingli mengatakan musik vokal tidak bisa dipakai dalam kebaktian. Calvin mengatakan musik vokal boleh dipakai tetapi hanya satu suara saja dan lagu yang digunakan hanya boleh yang berasal dari Mazmur saja. Sedangkan Luther menuliskan banyak lagu himne dan mendorong adanya paduan suara dalm gereja.
Frank Stoldt dari Gereja Lutheran (salah satu gereja independen) menyatakan pendapat bahwa gereja dan kebudayaan manusia di akhir milenium tersebut semakin lama semakin berbeda, yang berdampak pada semakin beragamnya misi dan musik gereja.
Himne sejak awal kemunculannya saat itu dianggap sebagai sacred entertainment, yang membuat banyak orang menyukainya. Mulai pada abad ke 19 itu, terjadi kontemporerisasi terhadap himne, yaitu penggunaannya sebagai ekspresi jiwa, sehingga himne digemari sebagai nyanyian individu atau personal.
Memasuki awal abad 20 semakin banyak yang menyukai kontemporerisasi himne tersebut, sehingga ada sebagian orang yang menganggap himne merupakan nyanyian kelompok, ada pula yang masih menganggap sebagai nyanyian individu.
Lebih jauh dituturkan Samuel, paduan suara juga mengalami perkembangan yang diawali dengan perdebatan peran paduan suara itu sendiri, apakah hanya menyanyikan lagu istimewa atau menyanyikan lagu liturgi.
Penggunaan paduan suara yang pada awalnya hanya digunakan di tradisi Lutheran, kemudian tradisi lainnya juga mengikutsertakan paduan suara dalam liturgi, seperti yang terjadi pada tradisi Calvinis, yang bukan karena alasan teologis melainkan imitasi (ikut-ikutan, Red).
Di samping perkembangan musik vokal dan pengikutsertaan paduan suara dalam ibadah gereja, penggunaan instrumen musik juga mengalami perkembangan. Dulu di Inggris yang boleh dipakai hanya alat musik orgel (organ pipa, Red), meskipun kaum Puritan di Inggris yang memegang tradisi Calvinis awalnya menentang, bahkan sampai terjadi perang saudara yang bedampak pada pengrusakan orgel oleh kaum puritan yang terlalu agresif.
Perkembangan selanjutnya pada akhirnya alat musik orgel diterima penggunaannya oleh masyarakat Inggris untuk kegiatan ibadah. Pada awal abad ke 19, terjadi fenomena revivalisme yang mendorong penggunaan orgel digantikan oleh piano karena lebih mudah membuatnya dan lebih murah.
Seiring dengan perkembangan zaman di abad ke 20, terjadi revolusi teknologi yang ditandai dengan munculnya kreativitas baru dalam masyarakat, misalnya terciptanya alkitab online yang dapat diakses dengan mudahnya menggunakan ponsel pintar atau tablet, termasuk berkembang pula pemakaian alat musik untuk mengiringi ibadat.
Kemudian musik yang digunakan tidak lagi hanya menggunakan piano, tetapi bisa juga dengan gitar (alat musik petik), biola (alat musik gesek), drum (alat musik perkusi), bahkan alat musik etnik (daerah) seperti gamelan, kolintang, gondang, dan lain sebagainya.
Maka dalam hal berkembangnya kreativitas jemaat, pria yang sampai saat ini masih aktif sebagai Dirigen Paduan Suara itu merekomendasikan slogan ‘hormati tradisi dan hargai inovasi’, karena menurut dia, itu adalah tanggung jawab kita semua.
“Contohnya mahasiswa teologi saya di Malang, Jawa Timur tidak terlalu familiar dengan lagu-lagu himne, saya mencoba mengajarkan dan memperkenalkan mereka dengan mengemas lagu himne secara kontemporer (lagu masa kini misalnya pop, jazz, dll), namun tetap mempertahankan aransemen awalnya. Sehingga, itu bisa memancing rasa ingin tahu mereka lagu aslinya seperti apa,” ungkap Samuel.
Gereja-gereja di daerah pun merasa perlu ibadahnya didukung dengan unsur budaya setempat, misalnya nyanyian dengan nuansa etnis dan instrumen dari daerah tersebut. Hal itu turut mendorong gereja untuk memikirkan perlunya kesadaran akan pentingnya inkulturasi dalam ibadah.
Editor : Bayu Probo
Tentara Suriah Menyerah, Tinggalkan Rezim Assad sebagai Imba...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Ratusan mantan tentara Suriah pada hari Sabtu (21/12) melapor kepada pengu...