Konas Perempuan PGI: Perlu Terobosan Mencegah Kekerasan ( bagian 2)
Konsultasi Nasional (Konas) Jaringan Perempuan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang dilaksanakan di Tomohon (4-9/4) menyoroti bahwa kekerasan dalam semua aspek kehidupan makin meningkat dan kompleks, khususnya kekerasan terhadap perempuan, anak, kelompok-kelompok rentan dalam masyarakat dan kekerasan terhadap bumi.
Potret masalah kekerasan tersebut dibahas bersama sejumlah narasumber, antara lain Sandra Moniaga (Komnas HAM), Ana Marsiana (AWRC), Sylviana Apituley (Komnas Perempuan), Mudjiati (Kemeneg PP), dan Pdt. Lies Marantika (MPH PGI). Peserta Konas selama lima hari melakukan pemetaan, sharing, diskusi kritis dan melakukan refleksi theologis tentang permasalahaan yang dihadapi secara global, nasional dan di wilayah masing-masing.
Peserta Konas Jaringan Perempuan PGI mengakui bahwa kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi, semakin kompleks dan meluas meliputi semua ranah kehidupan, serta melibatkan berbagai actor. Hal itu melibatkan mulai dari individu dalam keluarga, kelompok masyarakat, lembaga-lembaga civil society lainnya, pemodal hingga negara.
Ada banyak bentuk kekerasan yang terjadi di berbagai sektor kehidupan antara lain persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, perdagangan manusia, regulasi perdagangan lokal dan nasional yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pertambangan yang merusak lingkungan hidup, penebangan hutan/kayu liar, konflik agraria, penumpukan sampah, aktivitas perekonomian, pencemaran air, udara dan tanah.
Hal-hal tersebut merupakan gejala yang nampak dan digambarkan sebagai piramida terbalik. Realitas di atas belum sepenuhnya disadari oleh gereja dan warganya, sehingga pencegahan dan penanggulangannya belum serius, dan belum dianggap sebagai bahagian dari panggilan Gereja dalam rangka membela dan memperjuangkan hak asasi, keadilan dan kelayakkan hidup manusia.
Gereja-gereja di Indonesia masih berada pada tahap analisis dan penyelesaian masalah kekerasan yang nampak melalui gejala-gejala kekerasan. Hal ini berarti bahwa gereja-gereja di Indonesia belum tiba pada upaya untuk menghentikan akar kekerasan, yakni mendobrak struktur yang melahirkan kekerasan.
Gereja tidak cukup hanya fokus pada gejala dan penanganan yang sementara, namun harus memberi perhatian serius pada pola kekerasan dan akar masalah yang menyebabkan kekerasan tersebut. Gejala-gejala kekerasan yang dilihat hanya dapat diselesaikan dengan menggali akar masalah yakni membongkar ideologi kebijakan ekonomi, politik dan hukum yang tidak berpihak pada rakyat.
Harapan dan Rekomendasi
Peserta KONAS meyakini bahwa gereja memerlukan visi dan inisitif baru mengenai bentuk perdamaian yang telah di agendakan oleh gereja-gereja secara global, serta terobosan baru yang lebih radikal untuk menangani dan mencegah kekerasan, yang menyentuh hingga akar persoalan.
Peserta KONAS optimis bahwa visi dan harapan gereja-gereja dapat diwujudkan jika semua pihak berkomitmen dan mampu merumuskan langkah dan melakukan peran dan tanggungjawab masing-masing dalam menangani kekerasan dan menciptakan perdamaian.
Realitas kekerasan merupakan keprihatinan bersama yang membutuhkan komitmen dan tindakan nyata. Lingkaran kekerasan dapat diputuskan hanya dengan upaya transformasi budaya dan transformasi berteologi / cara berpikir yang melahirkan perubahan cara pandang, sikap kritis dan aksi yang komprehensif.
Peserta Konas 2013 juga menghasilkan draft Gender Policy (Kebijaksanaan Gender) serta beberapa inisiasi kampanye yang kreatif dan afirmasi go-green movement berkaitan dengan pemeliharaan bumi dan membangun budaya damai yang dilaksanakan oleh perempuan gereja dalam kehidupan sehari-hari. Konas merekomendasikan pelibatan laki-laki dalam perwujudan kesetaraan jender dan pengembangan kapasitas serta perspektif eko-theologi dalam pertemuan gereja dunia di Busan-Korea.
Konas menegaskan bahwa Konstitusi dan sejumlah hukum nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjamin dan melindungi hak-hak warga negara terkait bidang ekonomi, sosial, budaya dan hak-hak sipil-politik. Oleh karena itu, penanganan dan pencegahan segala bentuk kekerasan yang merenggut rasa aman, adil dan damai perlu dilandasi / kerangka kerja HAM sesuai UUD 45 dan hukum nasional lainnya.
Konas meminta pemerintah untuk konsisten dalam mengimplementasikan berbagai instrumen hukum serta meninjau atau merevisi kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Konas juga mendesak pemerintah untuk melaksanakan kewajibannya dan merumuskan serta melaksanakan program-program yang mendukung terciptanya damai dalam komunitas, damai dengan pasar, damai dengan bumi dan damai di antara manusia.
Gereja harus lebih meningkatkan kerjasama dengan semua komponen untuk melakukan advokasi kebijakan. Gereja lebih bersinergi dengan program-program pemerintah yang mengacu pada upaya menciptakan budaya perdamaian dalam berbagai bidang kehidupan.
Gereja melakukan dan mendukung upaya pendampingan korban kekerasan, khususnya pemulihan korban, terlibat dalam advokasi bersama kelompok masyarakat lainnya. Secara khusus Konas juga merekomendasikan adanya perhatian khusus PGI dan gereja-gereja pada meningkatnya kekerasan dan hilangnya perdamaian di Papua dan Papua Barat, yang telah menimbulkan banyak korban, khususnya perempuan dan anak-anak.
Konas memandang bahwa penanganan dan pencegahan kekerasan serta upaya menciptakan perdamaian di tanah Papua akan berhasil jika penanganannya menyentuh akar persoalan yang didorong melalui proses dialog penyelesaian antara masyarakat Papua dengan pemerintah.
Penulis adalah Pegiat pada Departemen Perempuan dan Anak PGI
Editor : Sabar Subekti
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...