Kondisi Politik dan Ideologi Mempengaruhi Keputusan Hakim
JAKARTA,SATUHARAPAN .COM - Intoleran dan kekerasan tampak menjadi mainstream di Indonesia. Peningkatan kasus intoleransi dan kekerasan atas kaum minoritas diakibatkan kebijakan yang melegitimasi itu. Hal ini dikemukakan Ahmad Suaedy dari Wahid Intistute dalam diskusi "Peran Strategis Peradilan dalam Perlindungan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan" di Jakarta pada hari Senin (28/10).
Ahmad Suaedy menyebutkan bahwa ada tiga level intoleran. Pertama adalah intoleran personal. Sikap intoleran itu bersifat pribadi, merasa keyakinannya paling benar, tidak mau berkompromi, dan hanya untuk diri sendiri. Tetapi keyakinan ini tidak untuk dielit-elitkan.
Kedua, intoleran ekspresif. Ekspresi dapat berupa kekerasan, perdebatan, dan seterusnya. Ada dua bentuk ada yang positif secara damai. Ada pula yang bersifat menyerang seperti syiar kebencian.
Ketiga, intoleran policy,adalah kebijakan yang justru melegitimasi intoleransi. Visi dan kebijakan Presiden SBY yang membiarkan intoleran dan kekerasan menyebabkan kasus itu menyebar.
Realitas Indonesia saat ini dipengaruhi politik dan ideologi yang sedang berkembang di bawah pemerintahan 10 tahun Presiden SBY. Reliatas itu juga pada akhirnya turut mempengaruhi keputusan hakim di pengadilan. Walau keputusan hakim itu selalu dikaitkan atas didasarkan atas nama keadilan atau Tuhan Yang Maha Esa.
“Dalam realitas kehidupan ini di tengah-tengah ini ada jarak antara hakim dan Tuhan yaitu politik dan ideologi,” kata Ahmad Suaedy dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...