Konsep Otonomi Daerah di Indonesia Amburadul
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti bidang Ekonomi dan Otonomi Daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat mengatakan belum terbebasnya konsep dasar otonomi daerah dari konflik antara orientasi ideologis dengan orientasi teknis menjadi salah satu persoalan otonomi daerah di Indonesia.
Sebab, menurut dia, salah satu karakteristik dari kehidupan politik yang pernah dipaparkan pengamat otonomi daerah Gerald S Myranov (1959) tersebut berimplikasi signifikan pada konsep kebijakan otonomi daerah di Indonesia, kecenderungan tersebut semakin terlihat saat muncul kontroversi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyikapi gagasan tentang perluasan otonomi daerah.
“Otonomi daerah harus bebas dari konsep dasar konflik antara orientasi idologi dengan orientasi teknis,” ucap Syarif dalam Seminar Politik dan Pemerintahan Fraksi Partai Nasdem DPR 'Membedah Pelaksanaan Otonomi Daerah dalam Memperkuat Pemerintahan Daerah dan Demokrasi di Indonesia', di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (10/4).
Selain itu, persoalan otonomi daerah lainnya menurut Syarif adalah biasanya hubungan negara dengan masyarakat. Menurut dia, hal tersebut menyebabkan proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan yang lebih diwarnai oleh interaksi elite penguasa dan elite masyarakat.
“Pemerintah pusat masih memaksakan kepentingannya dalam proses perumusan kebijakan desentralisasi, meskipun hal itu dikemas dalam dalam demokrasi dan diperjuangkan lewat proses politik informal,” tutur dia.
Masyarakat Dikuasai Elite Massa
Pada sisi masyarakat, Syarif membenarkan memang kini tidak sepenuhnya terpinggirkan lagi dalam implementasi kebijakan otonomi daerah, baik dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan di daerah.
“Namun, peran masyarakat belum sepenuhnya sebagai civil society, karena lebih banyak diwakil oleh elite massa,” tutur dia.
Dengan pola seperti itu, Syarif merasa tidak berlebihan bila menyebut pola interaksi negara dengan masyarakat dalam implementasi kebijakan otonomi daerah lebih condong pada interaksi elite masing-masing kubu. Menurut dia hal ini ditandai dengan adanya kolusi dan persekongkolan politik antara kedua elite dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing.
“Sulit diingkari hal ini akan mendominasi proses politik di tingkat lokal. Praktik poliarkhi seperti itu terus merambah proses pengambilan keputusan, bahkan hingga ke implementasi kebijakan,” ujar dia.
Persoalan terakhir, menurut Syarif yakni biasnya agenda reformasi, di mana realitas implementasi desentralisasi yang terjadi dalam kurun waktu 16 tahun ke belakang cenderung lebih menekankan pada upaya memperbaiki institusi negara daripada membangun kapasitas negara.
Lebih parahnya, menurut Syarif, dalam melakukan reformasi institusi tersebut, kesan kuat yang muncul adalah upaya membangun citra negara di muka masyarakat. “Sehingga kehadiran negara dalam kehidupan sehari-hari menjadi samar, bahkan dalam beberapa kasus menjadi absen” tutur dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...