Konvoi Kampanye Langgar Aturan Dibiarkan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sepanjang perhelatan kampanye terbuka yang telah berlangsung selama tiga pekan, beragam pelanggaran terus dilakukan, baik oleh calon legislatif (caleg) peserta pemilu, pengurus partai politik (parpol), hingga para simpatisan. Salah satu pelanggaran kampanye terbuka yang paling terlihat jelas adalah pengerahan massa dengan cara konvoi.
Beberapa pelanggaran tercatat telah dilakukan selama konvoi berlangsung. Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain: pengendara sepeda motor tidak memakai helm, melanggar lampu merah, berkonvoi dengan melawan arus lalu lintas, berkendara dalam pengaruh minuman keras, menggunakan knalpot dengan suara yang memekakkan (knalpot blombongan), menyertakan anak-anak, hingga melakukan gangguan keamanan.
Di sisi lain, banyak masyarakat yang terganggu dengan adanya pengerahan massa dengan cara konvoi tersebut. Suara bising knalpot sangat mengganggu pendengaran, khususnya bagi para pelajar yang sedang menjalankan aktivitas belajar-mengajar dan pasien di rumah sakit yang butuh istirahat. Selain gangguan suara, para simpatisan parpol juga tak jarang melakukan aksi yang menjurus pada gangguan keamanan, seperti melawan arus lalu lintas sehingga membahayakan pengguna jalan dari arah yang berlawanan, hingga melakukan tindakan anarki berupa pemukulan terhadap pemakai jalan lain yang kebetulan “dianggap” mengganggu jalannya konvoi.
Badan Pengawas Pemilhan Umum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Bawaslu DIY) hingga saat ini telah menerima banyak keluhan dari masyarakat terkait konvoi yang menjurus pada gangguan keamanan dan ketertiban. Banyaknya keluhan membuat Bawaslu kewalahan. Pasalnya, Bawaslu tak memiliki kewenangan dalam hal penindakan karena berada di wilayah pihak kepolisian. Celakanya, hingga saat ini, kepolisian seakan tak berkutik dalam menindak pelaku pelanggaran selama berlangsungnya konvoi kampanye terbuka.
“Bawaslu telah melakukan rapat koordinasi pada Kamis (3/4) dengan Polda DIY serta pengurus DPD atau DPW parpol terkait dengan banyaknya laporan atau keluhan dari masyarakat. Namun, dalam rapat koordinasi tersebut, pihak kepolisian ternyata hanya bisa melakukan tindakan persuasif dan pembinaan terkait dengan pelanggaran peraturan lalu lintas selama konvoi berlangsung,” kata Ketua KPU DIY Mohammad Najib pada Jum’at (4/4).
Kenyataan di lapangan, pihak kepolisian benar-benar melakukan tindakan yang sangat persuasif. Mereka hanya menilang simpatisan dengan jumlah yang sangat sedikit atau perseorangan, sedangkan untuk simpatisan dengan jumlah besar dalam sekali konvoi, kepolisian tak berani melakukan penindakan, padahal sangat jelas melanggar aturan.
“Polisi hanya berani menilang satu-dua simpatisan yang tercecer ketika melakukan konvoi, sedangkan untuk kelompok besar, polisi tidak berbuat apa-apa. Sebagai bukti, selama masa kampanya terbuka, khususnya untuk hal konvoi, polisi hanya menilang 568 kendaraan,” ucap Najib.
Najib mengaku kecewa dengan kinerja dan kenyataan di lapangan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Gangguan keamanan dan ketertiban yang menjadi ranah kepolisian dalam penindakan, nyatanya tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Alhasil, keluhan dan laporan yang seharusnya dialamatkan ke kepolisian, kini banyak yang masuk ke Bawaslu. Celakanya, Bawaslu tidak memiliki kewenangan apapun selain meneruskan laporan ke kepolisian.
“Banyaknya simpatisan yang mengendarai sepeda motor dalam pengaruh minuman keras (mabuk-mabukan), juga sangat berpotensi untuk melanggar aturan, bahkan keamanan. Namun, polisi juga tidak berani melakukan tindakan. Secara psikologis, polisi tidak berani menangkap para pelaku pelanggaran lalu lintas. Kalau polisi yang memiliki pistol saja takut, bagaimana dengan kita?” tutur Najib.
Najib juga menyoroti kinerja para pengurus parpol yang tidak mampu untuk mengendalikan massanya ketika konvoi berlangsung. Padahal kontrol massa parpol selama konvoi juga menjadi kewajiban para pengurus parpol untuk membantu menciptakan rasa aman bagi masyarakat selama konvoi berlangsung.
“Pengurus parpol juga tidak mampu mengontrol massanya sehingga mengganggu masyarakat umum. Kalau pengurus parpol saja tidak dihormati, bagaimana dengan kita dan masyarakat lainnya,” ucap Najib.
Kampanye terbuka, khususnya konvoi, akan berakhir pada Sabtu (5/4). Sejumlah pelanggaran selama konvoi berlangsung sangat layak menjadi catatan untuk perhelatan pemilu berikutnya, apakah mobilisasi massa ketika kampanye berlangsung masih layak atau akan ditemukan format lain dalam mobilisasi massa? Pasalnya, pemilu seharusnya menjadi sarana pendidikan politik dalam perhelatan pesta demokrasi 5 tahunan ini.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...