Korban Pemerkosaan di Halte Kecewa Tuntutan Jaksa
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Korban pemerkosaan di Halte Transjakarta berinisial YF kecewa atas tuntutan 1,5 tahun yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap empat terdakwa karyawan Transjakarta.
Menurut pendamping sosial korban Kartika Jahja, di Jakarta, Minggu (6/7), korban YF dalam email yang dikirimkan padanya mengungkapkan kekecewaannya atas isi tuntutan JPU Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 Juni lalu yang tidak sebanding dengan trauma yang ia rasakan.
YF, lanjutnya, sudah berjuang mati-matian untuk mendapatkan keadilan. Ia sudah mempercayakan keadilan kepada jaksa, tapi apa yang jaksa lakukan jauh dari yang diharapkan.
YF, ia mengatakan berharap ke depannya aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa atau hakim dapat memberikan hukuman sesuai hukum yang berlaku sehingga pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya dan korban bisa merasakan keadilan.
Kartika menyayangkan proses pengadilan yang tidak adil kepada korban. Selama ini pihaknya mendorong korban kekerasan seksual untuk berbicara dan memperjuangkan hak-hak mereka.
“Namun apabila sistem dan proses hukum yang mereka alami seperti ini, bagaimana kita mengajak korban kekerasan seksual untuk bersuara,” ujar dia.
Kasus pemerkosaan terjadi di halte Busway Harmoni 20 Januari 2014 silam dengan korban YF kini akan memasuki pembacaan putusan hakim. Rencananya pembacaan putusan hakim akan dilakukan pada 8 Juli 2014 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara ini telah menetapkan tuntutan satu tahun enam bulan terhadap empat terdakwa karyawan Trans Jakarta pada 25 Juni 2014 . Keempat terdakwa dikenai pasal 290 KUHP tentang pencabulan yang ancaman pidana maksimal tujuh tahun penjara.
Namun, Jaksa hanya menuntut para terdakwa dengan hukuman satu tahun enam bulan penjara dipotong masa tahanan.
Ormas Mohon Pemerkosa YF Dihukum Berat
Sejumlah organisasi masyarakat (ormas) yang tergabung dalam Aliansi Transportasi Aman untuk Perempuan memohon agar terdakwa pemerkosa YF dijatuhi hukuman yang berat.
Pendamping sosial korban Kartika Jahja dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu, mengatakan Aliansi Transportasi Aman untuk Perempuan mengajukan beberapa permohonan kepada Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat, di antaranya menjatuhkan hukuman yang berat terhadap empat terdakwa pemerkosa YF.
“Kami memohon pada majelis hakim untuk memberikan putusan berat mengingat kekerasan seksual yang dialami korban di halte busway menimbulkan rasa traumatik yang sangat lama untuk pemulihannya,” katanya.
Aliansi juga mendesak Gubernur (PLT) DKI Jakarta memperhatikan kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayahnya, terutama yang terjadi di prasarana transportasi umum.
Selain itu, ia mengatakan meminta Gubernur (PLT) DKI Jakarta menindak tegas aparat pemerintah dan pegawai-pegawainya yang melakukan tindak kekerasan seksual. Dan sekaligus meminta Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi Umum dan juga Pengelola Trans Jakarta untuk menindak tegas oknum aparatnya yang melakukan tindak kekerasan seksual dan membangun sarana dan prasarana transportasi yang ramah, aman dan nyaman.
Kartika mengatakan korban mengalami trauma pascakejadian, dan sering ketakutan melihat petugas berseragam saat harus menggunakan transportasi umum. Korban bahkan tidak hanya trauma melihat petugas Transjakarta, tetapi juga semua pria berseragam.
“YF sejak kejadian pemerkosaan 30 Januari lalu mengalami banyak trauma terutama di dalam proses persidangan,” ujar dia.
Kejadian ini juga berdampak pada relasi dan pekerjaan korban. Karena itu, tuntutan satu tahun enam bulan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sama sekali tidak mencerminkan keadilan pada korban.
Sementara itu, pendamping hukum korban dari LBH Apik Uli Arta Pangaribuan mengatakan tuntutan yang diberikan jaksa membuat miris. Tuntutan hukuman satu tahun enam bulan penjara tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku, dan memicu kekerasan seksual lain terjadi kembali.
Selain itu, menurut Uli, YF mengalami ketidakadilan sepanjang proses persidangan karena jaksa tidak bisa mewakili korban secara maksimal. Contohnya, jaksa tidak pernah memberikan pembelaan ketika ada pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban.
Tak hanya itu, katanya, jaksa sulit diakses, sehingga banyak informasi yang dibutuhkan korban tidak bisa didapatkan. Puncaknya adalah tuntutan yang diajukan jaksa sangat rendah, dan jauh dari harapan korban. (Ant)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...