Korban Penculikan Mei 98: Prabowo Tidak Niat!
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Aan Rusdianto yang mengklaim dirinya pernah menjadi korban penculikan dari peristiwa Mei 1998, dan merasa sebagai korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu namun akhirnya dibebaskan, menuturkan kalau Prabowo Subianto–menjabat Danjen Kopassus saat peristiwa Mei 98–memang berniat mau menuntaskan, terlebih setelah didesak oleh banyak pihak, harusnya dia bersegera mengemukakan itu kepada publik.
“Beberapa kali Prabowo sudah menyampaikan kalau dirinya bertanggung jawab, maka tentu saja Prabowo juga harus bisa membuka status orang-orang yang saat ini masih hilang,” tuturnya usai konferensi pers ‘Surat Terbuka untuk Jokowi-JK di Grand Cemara Hotel, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (4/7).
Aan mengungkapkan bisa lolos dari penculikan pada saat itu lantaran kurangnya kordinasi di beberapa satuan militer pada peristiwa itu–yang dia sebut sebagai kesalahan prosedur penculikan.
“Saya bisa lolos dari penculikan tersebut mungkin karena ada Mugiyanto yang bersama saya. Dia (Mugianto, Red) sempat lolos ke kesatuan lain, dan saya sempat mendengar ada perdebatan di Kodim Jakarta Timur (terkait orang-orang yang diculik, Red). Sehingga Mugi diidentifikasi sebagai sebuah kesalahan prosedur penculikan, dan akhirnya kita dilepaskan di Polda Metro Jaya,” urainya sambil berusaha mengingat kejadian 16 tahun lalu itu.
Kendati demikian menurut Aan tidak serta merta hanya Prabowo saja yang harus bertanggung jawab atas peristiwa itu, misalnya ada Mayjen Pol Drs. Da'i Bachtiar, Pangdam Jaya saat itu, Safrie Syamsudin, bahkan Wiranto–saat ini ada di kubu Jokowi-JK–yang saat peristiwa Mei 98 jabatannya sebagai Pangab, tentu tahu kejadian yang sebenarnya.
“Saya kira mereka bisa ditanyakan terkait penculikan aktivis Mei 98, karena penculikan itu merupakan instruksi lintas kesatuan yang sesuai dengan struktur komando di tentara,” tegasnya.
Prabowo, lanjut Aan, pernah mengajukan suatu konsep rekonsiliasi terhadap suatu proses pelanggaran HAM di masa lalu, kurang lebih poin-poinnya sama seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun dirinya juga tidak tahu kenapa sampai sekarang tabir penyelesaian belum terbuka, padahal sudah ditekan oleh banyak pihak.
Pernah Masuk Gerindra
Aan kemudian mengaku, dirinya pernah menjadi kader partai yang dipimpin oleh Prabowo–Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), lebih kurang setahun lalu. Namun saat ini dirinya telah resmi mengundurkan diri, terlebih, tidak pernah ada tanggapan serius dari pimpinan partai soal dirinya ingin maju caleg (calon legislatif, Red).
“Dulu saya masuk Gerindra karena memang ada alasan pilihan politik, di mana pada saat itu (sekitar setahun lalu) Prabowo memiliki program yang lebih baik dari pada calon pemimpin lainnya, dan karena dulu belum ada kandidat Jokowi,” ungkap Aan.
“Di sisi lain berharap akan ada kemungkinan untuk mendiskusikan persoalan kasus penculikan Mei 98. Namun sekarang status saya di Partai Gerindra sudah resmi mengundurkan diri (sekitar setahun lalu, Red),” dia menambahkan.
Aan mengklaim, dirinya pernah mendengar bahwa Prabowo pernah mengajukan suatu konsep rekonsiliasi terhadap proses pelanggaran HAM di masa lalu, kurang lebih poin-poinnya sama seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun sampai sekarang tabir penyelesaian belum terbuka, padahal sudah ditekan oleh banyak pihak.
Bukan Stockholm Syndrome
Banyaknya korban peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu yang justru berbelok mendukung Prabowo, menurut Aan juga tidak bisa disebut stockholm syndrome (korban yang pada akhirnya berempati pada pelaku dalam konteks kriminal).
“Ini adalah politik. Orang yang kemudian meyakini bahwa Prabowo bisa membawa perubahan bagi Indonesia, itu adalah suatu pilihan politik. Namun kita hanya tidak mau isu pelanggaran HAM masa lalu seterusnya hanya menjadi isu lima tahunan,” ujar dia.
Maka, Aan beserta rekan-rekan korban penculikan antara lain Mugiyanto, Raharja Waluya Jati, Faisol Riza, dan Nezar Patria, menyatakan dukungan mereka kepada Jokowi-Jusuf Kalla melalui surat terbuka di depan media massa.
Bicara mengenai pelanggaran HAM, nyatanya tidak hanya aspek sosial politik saja, seperti peristiwa Mei 98 saja. Ditandaskan Aan, teori neoliberalisme yang membuat perubahan masif terhadap lingkungan juga berdampak munculnya kasus pelanggaran HAM baru.
Misalnya kasus penangkapan petani-petani akibat korporasi lahan yang terjadi di Pati, Jawa Tengah, atau di Karawang, Jawa Barat. Itu semua dampak pembangunan yang memunculkan pelanggaran HAM baru dari aspek ekonomi, sosial, budaya, dan bukan hanya aspek sosial politik.
Bagaimanapun juga, terhadap semua bentuk pelanggaran HAM, dibutuhkan pemimpin baru yang memiliki niat menyelesaikan hingga tuntas.
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...