KPBB Gugat Pemerintah Tentang Harga BBM Atas Nama Warga Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tindakan Presiden, Menteri Keuangan, dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam penetapan harga BBM bersubsidi yang mengacu pada harga internasional adalah inkonstitusional yang mengarah pada tindakan perbuatan melawan hukum. Demikian pers rilis yang dikeluarkan Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) pada hari Selasa (18/6) bertepatan dengan sidang perdana mereka “Gugatan Harga versus Mutu BBM” di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tindakan Presiden, Menteri Keuangan, Menteri ESDM dalam penetapan harga BBM berdasarkan PP Nomer 36 tahun 2004 pasal 2, yang berbunyi bahwa ”Kegiatan usaha Hilir dilaksanakan oleh badan usaha yang telah memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan”, bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomer 002/PUU-I/2003, tertanggal 21 Desember 2004, yang pada pokoknya telah mencabut ketentuan tentang penetapan harga pasar berdasarkan pasal 28 ayat 3 Undang-Undang No 22/2001 tentang migas.
Ketidakkonsistenan Pemerintah terbukti dengan tetap menggunakan konten pasal 28 ayat 3 UU Nomer 22 Tahun 2001 ini sebagai acuan penetapan harga BBM bersubsidi sebagaimana ditetapkan pada UU APBN 2013 c.q. APBNP 2013. Adapun seharusnya penetapan harga BBM dilakukan berdasarkan metode Harga Pokok Penjualan.
Menurut Koordinator KPBB, Ahmad Safrudin, ada 11 perkara yang mereka gugat berkaitan harga dan mutu BBM, yaitu:
Pertama, penetapan harga BBM Bersubsidi yang masih mengacu pada harga pasar (PP Nomer 36 Tahun 2004) adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana ditegaskan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi pada 21 Desember 2004 yang membatalkan Pasal 28 UU Nomer 22 Tahun 2001.
Kedua, penetapan harga BBM seharusnya dilakukan berdasar metode Harga Pokok Penjualan dan bukan boarder price (patokan harga pasar internasional).
Ketiga, penetapan harga BBM berdasar boarder price mematikan daya saing industri dalam negeri karena keunggulan komparasi berupa sumur dan kilang minyak diabaikan dan tidak diposisikan sebagai keunggulan komparasi dalam persaingan pasar global.
Keempat, penetapan harga premium oleh Pemerintah berdasar boarder price ini mengacu pada harga rata-rata produk minyak di bursa Singapura (Mid Oil Plats Singapore, MOPS).
Kelima, hanya harga MOPS yang dijadikan acuan sementara mutu BBM Bersubsidi tidak mengacu pada mutu BBM MOPS.
Keenam, bensin di Bursa Singapura (MOPS) yang dijadikan acuan penetapan harga premium, selain Research Octane Number (RON) 92, juga punya sekitar 14 parameter sebagai BBM yang memenuhi syarat untuk kendaraan berstandar Euro 2.
Ketujuh, sementara premium selain RON-nya hanya 88, banyak parameter lainya yang tidak lolos digunakan untuk kendaraan berstandar Euro 1 pun.
Kedelapan, premium RON 88 pernah menyebabkan fuel pump ribuan mobil rusak (Juli 2010). Juga menyebabkan rusaknya busi sepeda motor (Oktober 2012-Maret 2013).
Kesembilan, penelitian JAMA (Japan Automobile Manufacturer Association) yang dirilis 15 Maret 2013: Premium RON 88 mengandung aditif Ferrocene (Fe) yang berdampak kerusakan busi dan pencemaran udara.
Kesepuluh, memproduksi dan memasarkan premium yang mengandung Ferrocece adalah pidana karena melanggar spesifikasi BBM yang ditetapkan Dirjen MIGAS dan melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kesebelas, premium RON 88 dibeli rakyat sesuai harga bensin di Bursa Singapura (MOPS) dengan rincian Rp 4.500 dibayar konsumen dan lebih Rp 1.700 oleh subsidi Pemerintah, namun rakyat tidak memperoleh BBM yang mutunya sesuai dengan mutu bensin di Bursa Singapura. Dengan demikian ada indikasi bahwa subsidi Pemerintah selama ini tidak untuk rakyat melainkan semata-mata mendongkrak profit margin PT Pertamina.
Kesebelas perkara itu menjadi alasan KPBB menggugat. Gugatannya mengenai kebijakan penetapan harga BBM Bersubsidi karena ada dugaan manipulasi di dalam penetapan harga BBM Bersubsidi.
Di dalam penetapan harga BBM Bersubsidi, Pemerintah dan Pertamina menggunakan acuan harga BBM yang mutunya lebih tinggi yang memiliki Harga Pokok Penjualan yang berbeda. Juga terdapat indikasi melawan UU Nomer 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (pasal 1 dan 3) dalam penetapan kebijakan harga BBM Bersubsidi.
Karena itu KPBB menuntut penetapan harga premium harus dihitung berdasarkan Harga Pokok Penjualan dengan melandaskan biaya crude oil sesuai dengan mutu dan sumbernya, baik domestik atau import; biaya pengolahan, dan biaya overhead serta profit margin yang wajar; dan atau biaya pokok impor produk BBM ditambah profit margin yang wajar. Penetapan Harga Pokok Penjualan premium dilarang menggunakan acuan Harga Pokok Penjualan BBM yang berbeda mutu.
Jika memang Pemerintah berniat mengabaikan situasi sosial ekonomi masyarakat dengan mengambil kebijakan menaikan harga BBM, Pemerintah harus meningkatkan (up grade) terlebih dulu mutu BBM (Premium dan Solar Reguler) agar memenuhi syarat kebutuhan kendaraan bermotor yang diadopsi di Indonesia (Standar Euro 2) baru kemudian melakukan penyesuaian (adjustment) harga sesuai dengan up grade mutu tsb. Jika memaksakan menaikkan harga BBM dengan mutu yang ada, itu berarti manipulasi dan menzalimi warga negara atau rakyat.
Jika Pemerintah memang berniat mengumpulkan uang dari sektor migas sebaiknya ditempuh dengan cara yang baik dan tidak melawan hukum, misalnya menerapkan pajak emisi, pajak karbon, sebagai tambahan pajak BBM yang telah diterapkan selama ini.
KPBB melakukan gugatan atas nama warga negara dengan Lukmanul Hakim, sebagai Kepala Tim Advokasi Warga Negara Menggugat Harga BBM.
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...