KPI: Hentikan Pemberitaan Infotainment yang Meresahkan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat ini dipangkas apabila mengacu kepada Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang penyiaran. Demikian dikatakan Iswandi Syaputra selaku salah satu komisioner KPI pada workshop “Jurnalisme Radio” dalam bagian dari Indonesia Broadcasting Expo 2013 (20/4).
Iswandi menjadi salah satu narasumber dalam workshop “Jurnalisme Radio” selain Iman Musaman yang merupakan seorang broadcaster Bens Radio, dan mantan Staf Ahli Anggota DPD-RI.
Sebelum menjelaskan tentang kewenangan yang dipangkas, Iswandi yang adalah mantan penyiar Radio Elshinta ini sedikit mengomentari bahwa prinsip jurnalistik secara umum yakni 5W + 1H yang ada pada tayangan televisi dan radio saat ini seringkali diabaikan oleh insan pers.
Iswandi yang juga pernah menjabat sebagai sekretaris Persatuan Wartawan Istana Kepresidenan pada tahun 2004-2005 mengatakan bahwa induk lahirnya KPI adalah Undang-Undang No.32 Tahun 2002, sehingga setelah kewenangan dipangkas melalui uji materi tahun 2012 lalu maka dari lima kewenangan yang ada saat ini tinggal tiga.
“Awalnya, ada lima kewenangan. Mulai dari menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran yang diusulkan oleh asosiasi masyarakat penyiaran kepada KPI, mengawasi pelaksanaan peraturan Pedoman Perilaku Penyiaran Serta Standar Program Siaran (P3SPS), memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran Serta Standar Program Siaran (P3SPS), melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. Sekarang hanya tiga yang sanggup dilakukan KPI, antara lain; memberi teguran tertulis, memberi peringatan kepada stasiun televisi, dan penghentian sementara tayangan televisi bermasalah.” ujar pria yang saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Anggota dan Organisasi pada Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Pusat itu.
Pengaggum Michel Foucault dan Jean Baudrillard ini menyebutkan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia saat ini tidak bisa seperti Komisi Pemberantasan Korupsi yang tegas menangkap dan memberi denda kurungan penjara atau uang.
”KPI saat ini tidak bisa memberi denda, bahkan lebih parahnya lagi, KPI tidak bisa berkutik dantidak bisa menyusun regulasi seperti dalam kewenangan itu,” ujarnya
KPI seperti disampaikan Iswandi, hanya seperti lembaga sensor film.
”Oleh karena itu KPI mendukung revisi UU Penyiaran oleh DPR, agar kewenangan itu kembali ke pangkuan KPI.”
Iswandi memberi contoh yang juga pernah melibatkan keluarganya bahwa sebuah tayangan informasi enternainment (infotainment) menyebabkan sebuah kepanikan massa dan menyebarkan pemberitaan palsu.
”Ketika kami menjatuhkan sanksi pengehentian sementara kepada salah satu program infotainment di sebuah stasiun televisi swasta pada tahun 2010, yang pernah memberitakan tentang letusan erupsi Gunung Merapi yang lahar panasnya mencapai ratusan ribu kilometer, nah kalau 60 kilometer saja dari Yogyakarta ke Solo. Pada kenyataanya di lapangan, tidak sampai ribuan kilometer.
"Nah, gara-gara tayangan itu, keluarga saya yang di Yogya dan sekitarnya mengungsi ke rumah saya di Jakarta, dari contoh ini yang mau saya katakan adalah ada dampak yang luar biasa dari informasi semacam ini sehingga dapat dikategorikan kebohongan publik, dan meresahkan masyarakat.” ujar Pendiri sekaligus anggota Dewan Presidium Komunitas Jurnalis Radio (KJR) Pusat tersebut.
Tayangan infotainment ini menerima sanksi pemberhentian sementara dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tetapi stasiun televisi swasta yang menayangkan berita infotainmen bohong itu mengadukan KPI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) perihal kewenangan KPI, dan pada hasil akhirnya KPI kalah, sehingga sanksi penghentian sementara tayangan infotainment tersebut tetap tayang lagi.
Editor : Wiwin Wirwidya Hendra
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...