KPK Periksa Sekjen DPR Terkait Suap Patrice Rio Capella
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari Selasa (27/10) menjadwalkan pemeriksaan Seketaris Jenderal (Sekjen) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Winantuningtyastiti, sebagai saksi atas tersangka mantan Sekjen Partai NasDem, Patrice Rio Capella (PRC). Pemeriksaan itu sehuhungan dengan kasus suap kepada anggota DPR terkait penyelidikan di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara atau Kejaksaan Agung.
Pelaksana Harian (Plh) Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriyati, mengatakan selain Sekjen DPR, KPK juga memeriksa Fransisca Insani Rahesti Swasta sebagai saksi.
Menurut Yuyuk, Fransisca Insani Rahesti diduga mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
“kalau dilakukan pemeriksaan sebagai saksi tentu diduga mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan tindak pidanan korupsi tersebut,” kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, hari Selasa (27/10).
"Ya, hari ini yang bersangkutan diperiksa KPK sebagai saksi untuk PRC," dia menambahkan.
Berdasarkan informasi Fransisca Insani Rahesti merupakan teman kuliah Rio di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Fransisca sendiri juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan, dengan tersangka Gubernur nonaktif, Gatot Pujo Nugroho, dan istrinya, Evi Susanti.
Fransisca sendiri memenuhi pangilan KPK dan tiba sekitar pukul 11.00 WIB dengan mengenakan baju putih dan dikawal ketat oleh dua orang yang mengenakan baju safari.
Pada hari Kamis (15/10), KPK sudah mengumumkan PRC sebagai tersangka dalam kasus ini. Sedangkan pengacara PRC yang ikut mendampingi, Maqdir Ismail, mengatakan kliennya dipanggil untuk tersangka Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Gatot Pujo Nugroho, dan isrinya, Evi Susanti.
"Hari ini pemeriksaan Pak Rio sebagai saksi untuk perkara Pak Gatot dan Bu Evi, mengenai pemberian hadiah atau janji kepada Pak Rio," kata Maqdir.
Kepada Gatot dan Evi disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a, huruf b atau Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur tentang perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Sedangkan PRC disangkakan Pasal 12 huruf a, huruf b atau Pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman terhadap pelanggar pasal tersebut adalah penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Gubernur-Wagub
Kasus ini bermula ketika terjadi masalah pembagian tugas antara Gatot Pujo Nugroho dan Wagub Sumut, yang juga Ketua Dewan Pimpinan Wilayah NasDem Sumut, Teuku Erry Nuradi, sehingga ada proses islah yang dilakukan di kantor DPP Nasdem di Gondangdia Jakarta pada Mei 2015, yang juga dihadiri mantan ketua Mahkamah Partai NasDem OC Kaligis dan Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh.
Namun, meski islah tercapai, diduga anak buah Erry tetap melaporkan adanya dugaan korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD yang menjadikan Gatot tersangka di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Pada sidang 17 September 2015 lalu terungkap pembicaraan antara Evi Susanti dengan staf Gatot bernama Mustafa yang mengungkapkan bahwa Gatot ingin agar kasus dugaan terjadinya korupsi dana Bansos yang ditangani Kejati Sumut dilimpahkan ke Kejaksaan Agung karena Kejaksaan Agung dipimpin oleh HM Prasetyo.
Pembicaraan pada 1 Juli 2015 terungkap bahwa Evi menyampaikan "Bapak mau jamin amankan supaya itu mau dibawa ke `Gedung Bundar` (Kejaksaan Agung), jadi kalau itu sudah menang gak akan ada masalah katanya di Gedung Bundarnya, Pak, gitu" kepada Mustafa.
Namun, pada Kamis (15/10), Jaksa Agung HM Prasetyo di Gedung KPK membantah adanya upaya "pengamanan" kasus Gatot Pujo Nugroho.
"Seseorang berbicara harus di-back up dengan bukti dan fakta. Ngomong apa saja boleh, tapi harus didukung bukti dan fakta. Tidak ada masalah, KPK tahu cara kerjanya," kata HM Prasetyo.
Prasetyo meyakini bahwa ia mengetahui kinerja anak buahnya. "Saya sangat tahu dengan diri saya dan lingkungan saya," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...