KPP RI Desak Baleg Tinjau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komnas Perempuan mencatat bahwa setiap 2 jam, 3 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual, dan telah ditemukan 15 bentuk kekerasan seksual, dan hanya 3 di antaranya yang secara definitif diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas. Oleh karenanya, keberadaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dinilai sangat penting.
Irma Suryani Chaniago, Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia, bersama-sama dengan Presidium Nasional Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia, GKR Hemas, Melani Leimena Suharli, Dwi Ria Latifa, Siti Hediati Suharto, dan Fahira Idris, tanggal 13 Desember 2015, memaparkan tentang siapa saja korban kekerasan seksual.
Menurut mereka, setiap perempuan dari segala umur rentan menjadi korban kekerasan seksual. Mereka baru saja menerima aduan dari Kaukus Perempuan Parlemen Provinsi Bengkulu, bahwa di Kabupaten Lebong telah terjadi pencabulan yang dilakukan seorang kepala SMP kepada murid-murid perempuannya. Demikian halnya dengan laporan Forum Pengadalayanan yang menemukan kasus kekerasan seksual dialami perempuan dari umur Balita dan nenek berumur 75 tahun. Bahkan korban dengan kategori anak-anak bukan hanya dialami oleh perempuan, anak laki-laki yang dipekerjakan di Jermal dan anak jalanan kerap menjadi incaran pelaku kejahatan seksual. Sementara pelakunya juga harus diwaspadai bahkan di tempat yang seharusnya paling aman bagi anak-anak.
Sementara itu, Ammy Amalia Fatma Surya, Wakil Sekretaris Jenderal KPP RI, yang juga merupakan anggota BALEG DPR RI, memaparkan tentang bagaimana dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
“Peraturan yang ada tidak dapat menjangkau secara spesifik tentang delik-delik yang berkaitan dengan kekerasan seksual, serta belum menyediakan skema pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Sehingga perlu pengaturan secara khusus (lex specialis). Selain itu, penegakan hukum dengan hukum acara yang ada seringkali menimbulkan reviktimisasi, kriminalisasi maupun impunitas pelaku karena persoalan pembuktian dan paradigma penegak hukum yang belum berperspektif korban, katanya.
Demikian halnya disampaikan oleh Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Ketua Divisi Media dan Pengembangan Jaringan, yang juga merupakan anggota Komisi VIII DPR RI, menyatakan bahwa Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia telah memutuskan akan mengawal proses pengajuan dan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Kami sangat berharap dan yakin, sahabat-sahabat kami, Ibu dan Bapak anggota DPR RI yang duduk di BALEG memiliki pandangan yang tidak berbeda, bahwa Kekerasan Seksual sudah harus segera dihilangkan dari negeri kita tercinta ini,” kata Rahayu.
Irma Suryani menegaskan bahwa keamanan tubuh perempuan dan anak, baik perempuan dan laki-laki, merupakan hak asasi manusia, dimana Negara harus hadir melindunginya. Kita semua harus melindungi keberlangsungan masa depan cemerlang bagi generasi bangsa. Yang paling penting juga adalah menyangkut harkat dan martabat bangsa kita karena kekerasan seksual merupakan tindak kriminal luar biasa, dan pelakunya berperilaku bar-bar yang seharusnya tidak terjadi lagi di tengah kehidupan modern ini.
Oleh karena itu, Pimpinan Pusat Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia, melihat bahwa telah terjadi darurat kekerasan seksual di Indonesia yang banyak mengorbankan perempuan termasuk anak perempuan dan laki-laki, mendesak Baleg untuk memperhatikan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk masuk dalam Prolegnas 2016 dengan alasan dasar sebagai berikut:
- Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) adalah organisasi perempuan parlemen yg memiliki misi memperhatikan pengarusutamaan gender dalam produk-produk kebijakan negara, telah memandang realitas kejahatan seksual secara kuantitas mengalami kenaikan dan tidak dapat ditolerir.
- Temuan Komnas Perempuan mengatakan bahwa terdapat 35 perempuan setiap hari mengalami Kekerasan Seksual, maka diperlukan penanganan dan pemulihan yang komprehensif melalui payung hukum yang khusus. (Kekerasan seksual mencapai hampir seperempat dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan, kekerasan seksual berdampak secara fisik, psikis, seksual, hingga ekonomi pada korban sehingga dibutuhkan pemulihan dalam makna luas bagi korban dan keluarganya, kekerasan seksual jika tidak ditangani akan mengancam keberlanjutan kehidupan bangsa karena menyisakan anggota generasi yang hidup dalam trauma psikologis, kelahiran akibat kehamilan tidak diinginkan, dan kualitas kehidupan berkurang.
- Hukum dan sistem penanganan yang ada saat ini untuk korban kekerasan seksual tidak mencukupi baik dalam melakukan pencegahan, penanganan, maupun penindakan terhadap para pelakunya, sehingga tidak dapat melindungi hak-hak korban.
- Hukum dan sistem yang ada juga belum mengikutsertakan pentingnya menciptakan transformasi masyarakat dan budaya untuk ikut serta melakukan pencegahan kekerasan seksual.
- Untuk menghentikan kasus kekerasan seksual yang terus meluas dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang khusus dan telah melalui penelitian, pengalaman, dan pelaporan yang telah banyak dilakukan baik lembaga pendamping dari masyarakat maupun dari lembaga negara, dan kesulitan aparat hukum.
Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia mengatakan bahwa mustahil RUU tersebut ditangguhkan melihat situasi yang sangat tidak dapat ditolerir. (PR)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...