Kreditnya Macet di Indonesia, Standard Chartered Gonjang-ganjing
SINGAPURA, SATUHARAPAN.COM – Ratusan eksekutif senior Standard Chartered beberapa pekan lalu berkumpul di pulau Sentosa, Singapura, guna membicarakan kondisi buruk bank tersebut. Direktur Utama Standard Chartered, Peter Sands, mewanti-wanti bahwa manajemen perusahaan hanya punya waktu beberapa bulan untuk membalikkan kondisi atau berisiko kehilangan dukungan dari dewan direksi.
Sands kini terancam kehilangan pekerjaannya.
Dua pemegang saham terbesar Standard Chartered, yang secara kolektif mengendalikan 28% saham bank, mendesak ditunjuknya pemimpin baru. Para nasabah dan regulator kian khawatir dengan nasib bank itu. Dukungan internal terhadapnya pun tidak begitu besar.
Penyulut kegelisahan adalah harga saham Standard Chartered yang terpangkas setengah dari level pada 2013. Laba merosot hingga seperlima. Strategi dan kekuatan finansial perusahaan pun dipertanyakan.
Menurut Standard Chartered, direksi bank mendukung strategi Sands untuk tidak lagi menjalani bisnis tak menguntungkan dengan menyalurkan dana ke wilayah menjanjikan dan memangkas ongkos ratusan juta dolar. Di luar masalahnya baru-baru ini, Standard Chartered mengaku masih menangguk laba sebelum pajak sebesar $4,8 juta pada sembilan bulan pertama 2014.
Menurut Presiden Komisaris Standard Chartered, John Peace, Sands bekerja dengan baik dan membawa kemajuan penting dalam memosisikan kembali bank demi pertumbuhan jangka panjang. “Ia mendapat dukungan penuh dari saya dan dewan [direksi].”
Sands, 53 tahun, tumbuh besar di Asia. Setelah lulus dari universitas Oxford dan Harvard, ia bekerja untuk Foreign & Commonwealth Office, Inggris, sebelum bergabung dengan McKinsey & Co sebagai konsultan. Ia menjadi Direktur Utama Standard Chartered pada 2006.
Keberhasilan bank mengharumkan namanya. Pada Juli 2012, majalah Euromoney mengganjarnya sebagai Banker of the Year.
Namun, langkah agresif Standard Chartered di pasar berisiko menjadi bumerang. Pada akhir 2012, bank tersebut mendapat sanksi dari AS dan pihak berwenang New York setelah melanggar sanksi AS dan mencuci uang para nasabah asal Iran.
Sementara itu, Standard Chartered menghadapi persaingan lebih kuat dari perbankan Asia, dan mengalami sejumlah kasus kredit macet.
Bank telah melakukan write-off pinjaman bernilai sekitar $3 miliar sejak 2013. Bahkan, para analis Credit Suisse bulan ini memproyeksikan Standard Chartered kemungkinan membutuhkan hingga $11 miliar dana segar untuk menutupi kerugian dari sektor kredit.
Prospek kenaikan tingkat kredit macet membuat sejumlah eksekutif senior mempertimbangkan apakah bank tersebut harus menjual saham untuk mendapat lebih banyak modal. Sands menolaknya.
Menurut sejumlah eksekutif senior, Sands plin-plan dan Standard Chartered menjadi terlalu birokratis. Menurut mereka, bank tersebut masih terlalu enggan untuk memangkas biaya atau merestrukturisasi usaha.
“[Kondisi ini] memancing rasa frustrasi. [Dewan direksi] harus menjadi pemicu,” ujar seorang petinggi bank tersebut.
Sands dan para eksekutif Standard Chartered lain telah berupaya memperbaiki kondisi bank. Dalam pertemuan dengan para investor November tahun lalu, mereka mengumumkan rencana merampingkan usaha, termasuk merumahkan ribuan karyawan dan mengambil lebih banyak untung dari para nasabah.
Para eksekutif, setelah pertemuan di pulau Sentosa, ragu apakah strategi Sands dapat mengembalikan kepercayaan investor dan nasabah.
Pada Maret ini, Standard Chartered akan melaporkan keuangan 2014. Para eksekutif merasa cemas dengan macetnya pinjaman di Indonesia dan negara lain. Selain itu, bank memulai tahun ini dengan awalan lambat. (wsj indonesia)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...