Krisis di Crimea, Bukan Masa Depan, Tapi Kembali ke Masa Lalu
SATUHARAPAN.COM – Apa yang akan terjadi di Laut Hitam pekan depan? Wilayah otonom Ukraina yang berada di semenanjung, Crimea, akan menyelenggarakan referendum memisahkan diri dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia yang diselenggarakan oleh penguasa lokal.
Referendum, tentu saja, ditolak oleh penguasa Ukraina baru yang menggulingkan pemerintahan sebelumnya yang pro Rusia. Dan hasil referendum tampaknya juga sudah bisa ditebak oleh banyak pihak akan medukung aneksasi Crimea ke Rusia.
Ukraina memangh tenggelam makin dalam oleh krisis. Semula menyangkut sengketa hubungan politik dan ekonomi condong ke Rusia seperti pemerintahan Viktor Yanukovych yang terguling atau condong ke Uni Eropa seperti sekarang dipilih oleh presiden sementara, Oleksandr Turchynov. Krisis ini belum juga selesai, Ukraina harus mengatasi masalah Crimea yang mayoritas penduduknya dari etnis Rusia menolak pemerintah baru dan akan memisahkan diri.
Rusia tampaknya akan “kehilangan” Ukraina setelah oposisi menang dan berkiblat ke Barat, tetapi masih bersikeras tidak mau “kehilangan” Crimea. Semenanjung ini bukan sekadar wilayah seluas 26.000 kilometer persegi dan angkatan laut Rusia menempatkan kekuatan yang besar di sana.
Crimea memang “pintu” penting bagi Rusia, termasuk dalam relasinya dengan Turki, Irak, Iran, dan tentu saja menyangkut konflik di Suriah, mitranya. Dukungan Rusia terhadap rezim Bashar Al-Assad membuat pemerintah ini masih bertahan dalam perang tiga tahun. Sementara pemerintah Timur Tengah lainnya tumbang oleh hembusan angin Musim Semi Arab yang menimbulkan gelombang pemberontakan.
Namun bagi Rusia, Crimea bisa jadi pantas dipertaruhkan lebih terkait pada kebanggan nasional Rusia yang terluka dan munculnya nasionalisme baru Rusia. Crimea terkait dengan masa lalu Rusia dalam hubungan dengan Barat yang penuh luka, dan konflik Timur-Barat dalam perang dingin yang panjang.
Tanpa Titik Balik
Kondisi di Crimea dengan referendum yang dimotori Perdana Menteri Crimea, Sergei Aksyonov, menjadikan situasi di sana seperti tidak ada titik untuk berbalik. Rusia dan otorita baru Crimea tampaknya telah siap dengan konfrontasi. Mereka bukan saja siap menyelenggarakan referendum yang oleh Kiev dinilai sebagai “penipuan”, tetapi parlemen daerah juga telah mendeklarasikan persetujuan pemisahan dengan Ukraina.
Pemerintah Kiev memang menyatakan tidak akan melakukan aksi militer ke Crimea, namun akan selalu siap jika ada agresi yang memasuki wilayah Ukraina. Perang mungkin tidak pecah di sana, tetapi baik Ukraina dan Crimea tidak akan menyongsong masa depan, justru kemungkinan kembali kepada masa lalu.
Kunci dari penyelesaian krisis di Ukraina dan Crimea justru akan terletak di luar tangan mereka, yaitu oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat di satu sisi dan Rusia di sisi lain. Diplomasi di antara mereka akan mengarahkan jalannya “drama” di Laut Hitam ini.
Ukraina dengan krisis ekonomi yang parah mungkin akan tertolong “sementara” oleh bantuan AS dan Uni Eropa yang menyediakan sekitar US$ 26 miliar. Dan Crimea dengan referendum yang menghasilkan bergabung dengan Rusia, akan aman di bawah “perlindungan” Rusia.
Namun masalah masih akan berlanjut dengan perdebatan tentang keabasahan referendum. Keputusan akan menjadi perdebatan hingga di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang bisa tak berujung karena di antara pihak yang bersengketa memegang kartu veto.
Kebergantungan
Crimea tampaknya berada pada titik kembali ke masa lalu. Semenanjung ini bergolak bertahun tahun dalam perang saudara Rusia dan memperoleh kemerdekaan pada 1917. Hanya setahun merdeka, wilayah ini diduduki Bolshevik, lalu menjadi daerah otonom pada masa Republic Ssialis Sovyet pada kurun 1921-1945.
Kemudian sebagai daerah otonom semasa Uni Sovyet dan diserahkan sebagai daerah otonom ke Ukraina pada 1954, hingga Uni Sovyet bubar pada 1991. Dan tetap menjadi daerah otonom di bawah Ukraina hingga sekarang. Hasil referendum hanya akan membawa Crimea berada di bawah ketiak Rusia.
Crimea berada pada situasi memasuki masa bergantung pada belas kasihan Rusia. Pangkalan angkatan laut Rusia mungkin akan menjadi salah satu alasan utama untuk membantu perekonomi wilayah itu. Crimea hanya akan menjadi kartu yang dimainkan oleh Rusia, dan tidak pernah menjadi sepenuhnya merdeka, sama halnya dengan Sergei Aksyonov yang hanya boneka Rusia. Selain itu, Crimea mungkin akan menghadapi gangguan keamanan yang berkelanjutan dari kelompok Tatar Crimea yang menolak pemisahan.
Sementara bagi Ukraina, krisis ini bisa masih panjang, bahkan makin dalam. Pemulihan ekonomi juga akan bergantung pada bantuan Barat (Uni Eropa dan AS) yang bukan tanpa pamrih. Perdagangan dan industri belum tentu bisa dipulihkan dengan cepat. Di sisi lain, integrasi Ukraina ke Uni Eropa juga tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Konflik ini mencerminkan pepatah “gajah berkelahi dengan gajah, pelanduk mati di tengah.” Namun demikian konflik dalam forum Dewan Keamanan PBB, bisa membawa konsekuensi hubungan ekonomi dan embargo. Bisnis di antara negara Barat dan Rusia pun akan memperoleh imbas yang bisa menyakitkan.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...