Pemilu dan Lemahnya Kaderisasi di Parpol
SATUHARAPAN.COM - Berbagai kalangan mengritik bahwa cara kampanye partai politik dan calon anggota legislatif untuk pemilihan umum parlemen sebagai tidak kreatif dan secara substansi kurang mengena. Hal ini sudah muncul sejak hari pertama kampanye digelar.
Kampanye dengan konvoi kendaraan para pendukung partai dinilai sebagai unjuk kekuatan, ketimbang menjelaskan program partai. Demikian juga kampanye terbuka dengan menghadirkan artis-artis, hanya memberi hiburan ketimbang memberikan pendidikan politik.
Spanduk partai dan caleg dengan foto yang besar juga dinilai tidak akan efektif, karena surat suara nantinya tidak menampilkan foto caleg. Apalagi, pesan yang disampaikan seperti iklan produk yang tidak menyentuh substansi tentang platform dan program partai.
Hal-hal itu membuat rakyat tetap saja tidak memiliki cukup informasi untuk menentukan pilihannya pada 9 April mendatang. Sebab, catatan, informasi dan pengenalan tentang caleg sangat tidak memadai untuk pemilih menjatuhkan pilihannya secara rasional.
Lemah dalam Kaderisasi
Ada beberapa masalah penting yang membuat kampanye menjadi tidak efektif, terutama yang terkait dengan kaderisasi di dalam tubuh partai politik. Kelemahan dalam kaderisasi ini adalah caleg bukanlah figur yang dikenal dan dekat dengan rakyat calon pemilih di daerah pemilihannya.
Sekarang, mereka harus berusaha keras dalam masa kampanye yang pendek untuk memperkenalkan diri secara maksimal dengan berbagai cara, agar “diingat” ketika pemilih berada di bilik suara. Akibatnya, acara-cara yang aneh, yang tidak mendorong pendewasaan berpolitik, bahkan sebaliknya, masih tetap terjadi, kalau bukan disebut dominan.
Masalahnya adalah partai politik tidak menggunakan peta daerah pemilihan sebagai basis kaderisasi anggota partai yang akan maju sebagai caleh dalam pemilihan umum. Selain itu, penetapan caleg oleh partai (dan juga oleh Komisi Pemilihan Umum / KPU) terlalu dekat dengan masa kampanye.
Daerah pemilihan telah ditetapkan oleh KPU, dan sebaiknya peta daerah pemilihan ini terus digunakan untuk pemilihan selanjutnya. Jika ada perubahan harus dilakukan setidaknya lima tahun sebelumnya. Partai politik bisa menggunakan peta ini dengan secepatnya menunjuk kader-kader yang dipersiapkan untuk calon anggota legislatif di daerah tersebut.
Jika ini dilakukan, kader itu bisa secara intensif menggali apsirasi calon pemilihan di daerah itu, dan memperkenalkan diri dengan baik, melalui dialog yang intensif. Ini akan menjadi investasi jangka panjang, setidaknya dalam lima tahun, sehingga masa kampanye yang pendek bisa dilakukan dengan aktivitas yang lebih menegaskan apa yang sudah dilakukan.
Terlambat Menetapkan
Masalahnya, banyak caleg sekarang ditetapkan oleh partai justru menjelang pemilihan umum, bahkan sebelum ada daftar calon tetap, banyak yang merasa tidak pasti di mada daerah pemilihannya. Hal ini yang membuat para caleg tidak akan pernah bisa berinvestasi dalam jangka panjang untuk menjadi figur yang dikenal dengan baik oleh calom pemilih. Ini m,asalah penetapan caleg oleh parpol yang sangat terlambat.
Beberapa caleg sudah satu periode atau lebih menjadi anggota legislatif. Mereka sebenarnya bisa memanfaatkan masa reses dengan turun ke daerah pemilihan. Hal ini bisa menjadi investasi meningkatkan elektabilitas mereka pada pemilun yang berikutnya, sekaligus menjalankan tugas sebagai anggota Dewan. Namun banyak yang menjadi sia-sia, karena pada pemilihan umum berikutnya dia dicalonkan pada daerah pemilihan yang berbeda.
Sejauh ini tidak ada argumentasi yang memadai dari partai politik mengapa caleg yang sudah menjadi anggota Dewan beralih daerah pemilihan. Hal ini menandai bahwa partai politik tidak peduli terhadap relasi antara anggota dewan dan masyarakat pemilih atau konstituen mereka, sehingga bisa diubah-ubah sekehendak pimpinan partai.
Bukan dari Dapil
Masalah lain adalah banyak caleg tidak berasal dari daerah pemilihan mereka. Dia didrop dari Jakarta atau daerah lain. Banyak caleg yang sebenarnya terlihat “asing” bagi daerah pemilihannya. Dia bukan saja tidak dikenal oleh calon pemilih, tetapi juga sangat mungkin tidak mengenal kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat di daerah pemilihannya.
Caleg seperti ini tidak memiliki pengalaman berdialog dengan konstituen untuk menggali aspirasi rakyat. Sangat mungkin hal ini menjadi penyebab rendahnya kualitas anggota Dewan, termasuk mereka tidak dekat, dan tidak peduli, dengan rakyat, sekalipun sudah duduk sebagai anggota Dewan.
Kondisi yang paling parah tentu caleg yang baru bergabung ke partai menjelang pengajuan daftar caleg. Mereka, sangat mungkin, belum mengenal dengan baik partai politik di mana mereka menjadi anggota, dan juga bagaimana anggota dewan akan bekerja. Akan lebih celaka, jika daerah pemilihannya juga bukan daerah yang mereka kenal dengan baik, dan konstituen juga tidak mengenal mereka. Jika pun mereka adalah figur yang sering tampil di media, maka sangat mungkin pemilih akan tetap terkecoh.
Inilah salah satu yang membuat pemilihan umum kali ini tidak bisa memberikan jaminan lebih berkualitas, termasuk jaminan akan munculnya anggota Dewan yang lebih berkualitas, sekalipun sudah lebih dari 15 tahun reformasi berlangsung. Masalah ini harus disikapi dengan serius oleh parpol, karena reformasi partai politik justru termasuk yang tertinggal. Reformasi hanya menghasilkan partai yang lebih banyak, bukan yang lebih berkualitas.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...