Krisis Etika di DPR?
SATUHARAPAN.COM – Sudah bisa ditebak, dan sekarang makin nyata tebakan itu mempunyai dasar, bahwa kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla oleh ketua DPR RI, Setya Novanto, hanya akan menjadi ‘’kegaduhan politik’’ tanpa keputusan yang jelas.
Sudah bisa ditebak, karena praktik politik di Indonesia belakangan ini memang tak jauh dari kepentingan di kalangan sempit politisi, jauh dari kepentingan rakyat. Jadi, kalau Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menunda pengambilan keputusan terkait pencaturan nama untuk meminta saham PT Freeport, tidak lagi menjadi kejutan.
Sebaliknya, di kalangan MKD justru ada yang mempersoalkan kedudukan hukum Sudirman Said yang melaporkan ke MKD. Disebutkan Said tidak bisa melaporkan Setya Novanto berdasarkan Peraturan DPR No.2/2015.
Ini persis cara-cara koruptor yang tertangkap dan kemudian ‘’sok tak berdosa’’ dan bahkan sebaliknya menyalahkan pihak yang menangkap, yang memberi informasi, dan yang meproses hukum. Jika kasus pencatutan mana ini terus didominasi oleh kekuatan politisi ‘’hitam’’ bukan tak tertutup kemungkinan Said yang mengadukan justru akan balik dituduh, misalnya, menggunakan pasal pencemaran nama baik.
Hukum untuk Si Jelata
Seperti editorial sebelumnya, penegakan hukum di Indonesia sudah sarat pengalaman bahwa pencatut nama dari kalangan jelata adalah masalah pidana dan boleh langsung ditahan, bahkan mungkin mengalami penyiksaan. BACA JUGA: Mencatut Nama: Bedanya Elite dan Jelata.
Berbeda, kalau untuk kalangan elite. Kasusnya serupa, tetapi karena pelakunyadari kalangan elite tidak dibawa ke ranah pidana, dan hanya dilihat sebagai pelanggaran etika. Proses penyelesaiannya juga akan berbelit, dan kemungkinan akan berujung kekaburan.
Maka kasus Setya Novanto hanya dibawa ke MKD, bukanya dilaporkan ke polisi, seperti pada rakyat jelata, sudah biasa ditebak ke mana arahnya. Hasilnya yang paling menyakitkan adalah bahwa Negara Indonesia yang berdasarkan hukum, tetapi terjadi ketidak-setaraan yang yang sangat mencolok di antara warganya ketika berada di depan hukum.
Wapres Jusuf Kalla sempat menyatakan bahwa hasil keputusan MKD bisa digunakan untuk melanjutkan ke proses di ranah pidana. Namun jika proses di MKD sendiri tidak memadai, keputusan apa yang bisa digunakan, bahkan sangat mungkin menjadi hambatan.
BACA JUGA:
Konflik Kepentingan
Situasi ini dengan tegas disebutkan oleh Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit. Menurut dia, MKD tengah terjepit dalam kekuatan besar di Gedung Parlemen Senayan, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Kerja Sama Partai Politik Pendukung Pemerintah (KP3).
Tentang masalah ini, KMP dikabarkan telah menggelar pertemuan dan memerintahkan seluruh kadernya untuk memberikan bantuan kepada Novanto. Hasilnya pada tahap awal, adalah MKD menjadi lembek dan menunda mengambil keputusan, dan masih membahas kedudukan hukum Said.
Membawa masalah pencatutan nama ke ranah etika sebenarnya juga bukan hal yang remeh. Masalah etika, semestinya, juga masalah serius bagi elite politik. Namun karena selama ini masalah etika telah begitu sering dilecehkan, maka tampak tidak ada rasa malu sekalipun proses di MKD juga terlihat seperti jauh dari persoalan etis.
Suasananya bahkan makin memprihatinkan, karena DPR periode ini sangat tidak produktif dalam menjalankan tugas lembaga legislatif dan pengawasan. Ketidak-risauan kalangan DPR antas situasi kontras di mana kinerja rendah, tetapi ribut dengan urusan internal dan kepentingan kelompok, memang menunjukkan bahwa ini krisis etika yang nyata, dan sayangnya ini justru melibatkan pimpinan DPR.
Di kalangan DPR tampaknya sejauh ini fokus hanya untuk kalah dan menang demi kepentingan mereka sendiri. Apalagi, disebutkan bahwa di MKD yang ingin melanjutkan proses hanya sedikit. Maka perlu dicatat bahwa ini adalah pembusukan yang dialami Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...