COP21: Saatnya Mendengarkan ''Korban''
SATUHARAPAN.COM – Hari Senin (30/11) ini para pemimpin dunia bertemu di Paris dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim PBB atau dikenal sebagai Conference of Parties / COP21). Pertemuan diharapkan menghasil kesepakatan tentang pengurangan karbon untuk mengatasi masalah iklim yang mengalami perubahan dan cenderung makin berbahaya.
Namun dalam pekan-pekan terakhir justru banyak dimunculkan informasi dan data baru yang menunjukkan keprihatinan makin dalam. Ini menandakan pengurangan karbon (C02) yang direkomendasikan oleh Protokol Kyoto pada 2005 masih menghadapi banyak hambatan.
Apakah pertemuan Paris akan menghasilkan terobosan baru untuk mengatasi hal ini? Sejauh ini tantangannya masih tentang konsumsi bahan bakar fosil yang secara total tetap tinggi, dan perkenalan serta pemakaian sumber energi rendah karbon dan terbarukan masih sangat lambat.
Di sisi lain, obsesi pembangunan pada negara-negara masih pada masalah ekonomi dengan mengejar pertumbuhan yang sering berkonsekuensi pada melonjaknya konsumsi energi. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok dalam dekade terakhir, misalnya, juga ditandai dengan produksi karbon yang meningkat.
Makin Panas
Data yang dirilis oleh Organisasi Meteorologi Dunia (World Meterological Organization /WMO) misalnya menunjukkan jumlah gas rumah kaca di atmosfer mencapai rekor tertinggi baru pada tahun 2014. Ini berarti seruan pengurangan gas rumah kaca nyaris tidak berpengaruh. Gas ini "naik tanpa henti" dan memicu perubahan iklim. WMO memperingatkan planet bumi akan lebih berbahaya dan tidak ramah untuk generasi mendatang.
WMO juga memperingatkan bahwa 2015 mungkin akan menjadi tahun terpanas, dan kenaikan itu menjadi tonggak simbolik yang signifikan, karena kenaikan mencapai satu derajat Celsius di atas kenaikan pada era pra industri. Tahun 2100 kenaikan diperkirakan mencapai dua derajat Celsius.
Akibat dari perubahan iklim ini sudah pula diungkapkan. Sebagai gambaran umum data dari Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR) menyebutkan bahwa selama 20 tahun terakhir, 90 persen dari bencana besar terjadi terkait dengan cuaca. Pada kurun itu terjadi 6.457 bencana besar yang meliputi banjir, badai, gelombang panas, kekeringan danbencana terkait cuaca lainnya.
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), juga menyebutkan bahwa bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim telah meningkat dalam frekuensi dan tingkat keparahan selama tiga dekade terakhir. Akibatnya adalah kerusakan pada sektor pertanian, padahal masih ada sekitar 800 juta penduduk dunia yang mengalami kekuarangan nutrisi akut.
Korban perubahan iklim disebutkan sebagian besar ada di negara berkembang dan miskin. Mereka adalah kelompok yang tidak atau sedikit sekali tersentuh oleh kemajuan yang memproduksi begitu banyak karbon.
Waktunya Bertindak
Data-data telah banyak disampaikan, juga konsep-konsep untuk perubahan. Hal ini bahkan sudah juga dibahas dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Namun masalah utama yang selalu diserukan adalah apa aksi yang konkret di lapangan, dan bukan di dalam dokumen.
COP21 sebagai pertemuan para pihak, sangat perlu mengambil perubahan dalam sikap, terutama untuk mendengarkan semua pihak. Keputusan-keputusan menjadi tidak mudah dilakukan, karena masih banyak pihak yang tidak didengarkan, bahkan di abaikan.
Salah satu yang sering diabaikan, bahkan dikorbankan dalam pembangunan negara, adalah kelompok masyarakat Adat. Yang memprihatinkan adalah pengakuan akan keberadaan dan hak-hak mereka atas wilayah adat sangat minim. Padahal, umumnya mereka adalah ‘’benteng penting’’ bagi kelestarian bumi. Menurut data program Pembangunan PBB (UNDP), masyarakat adat mengelola 65 persen permukaan bumi.
Apakah pertemuan Paris mau mendengar mereka, dan mengadopsi kearifan mereka menjaga bumi? Atau hanya akan mendengar para pihak pengejar pertumbuhan? Masalah terbesar perubahan iklim hulunya ada pada ketidak-adilan dan ketamakan. Dan masyarakat adat umumnya adalah korban dari ‘’kejahatan’’ ini.
Perubahan yang sangat mendasar dalam mengatasi ketidak-adilan dan ketamakan adalah mendengar dan memberi ruang bagi ‘’para korban.’’ Kalau ruang dikuasai pelaku, maka yang dihasilkan hanya argumentasi basa-basi, yang hanya menjadi cara mengelak dari perubahan.
Gereja-gereja di Ukraina: Perdamaian Dapat Dibangun Hanya At...
WARSAWA, SATUHARAPAN.COM-Pada Konsultasi Eropa tentang perdamaian yang adil di Warsawa, para ahli da...