Krisis Irak Ancaman bagi Timur Tengah
SATUHARAPAN.COM – Situasi di Irak belakangan ini sangat mencemaskan. Sekitar 10.000 pasukan dari kelompol ISIL (Negara Islam Irak dan Levan) tengah bergerak menantang pemerintahan Baghdad yang dipimpin Perdana Menteri Nuri Al Maliki.
Situasi ini akan mendorong perang saudara di Irak yang yang dilatarbelakangi oleh sentimen sektarian yang kuat. Kekhawatiran terbesar adalah bahwa Irak yang porak-poranda setelah perang menggulingkan Sadham Husein, akan kembali terjerumus pada perang saudara yang lebih mengerikan.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengingatkan adanya risiko yang nyata dalam skala besar dengan kekerasan sektarian yang berkelanjutan di negara itu. Bahkan bahaya itu bisa meluas hingga di luar perbatasan Irak.
Situasi di Irak mengingatkan perang saudara di Suriah yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun dan telah menimbulkan penderitaan yang tergolong terbesar dalam dua dekade awal abad ke-21. Sekitar 160.000 orang meninggal dalam pertempuran dan jutaan orang menjadi pengungsi di negara-negara tetangga atau terjebak di tengah konflik bersenjata di dalam negeri.
Di Suriah, kelompok ISIL berperan di dalam kempok pemberontak, namun konflik sektarian di antara unsur pemberontak justru melemahkan kekuatan mereka. Hal itu membuat perang saudara di Suriah semakin suram. Upaya-upaya perundingan seperti konferensi di Jenewa yang telah belangsung dua kali tidak memberikan hasil yang signifikan.
Di Irak, ISIL telah membangun kekuatan dan menjadi ancaman bagi pemerintahan yang masih lemah dan belum mampu menjangkau seluruh wilayah. Keamanan masih merupakan masalah serius bagi Irak yang ditandai oleh seringnya serangan teroris ke kelompok masyarakat. Bahkan pemilihan umum yang diharapkan menjadi proses transisi yang lebih damai dan memasuki kehidupan demokrasi belum mampu mengatasi masalah keamanan di sana
Musim Semi Arab
Konflik sektarian tampaknya tumbuh dan berkembang menyusul munculnya revolusi musim semi Arab yang menandai pemberontakan terhadap kekuasaan lama yang otoriratian. Hal itu terjadi di Tunisia, Libya, Mesir, Yaman dan Suriah. Di negara-negara itu, tumbangnya pemerintahan lama oleh pemberontakan, juga melahirkan kekuatan baru yang sektarian. Pemerintahan yang menggantikannya masih terus bergelut dengan pertumpahan darah yang didorong oleh konflik sektarian dan konflik bersenjata.
Gerakan-gerakan kelompok sektarian ini terus berkembang melintasi wilayah. Masalah yang dihadapi Mesir juga terkait dengan gerakan sektarian yang ada di Libya, Palestina dan Suriah. Konflik di Suriah telah menjadi gangguan yang nyata bagi negara-negara sekitarnya. Bukan hanya karena arus pengungsi yang sangat deras, tetapi juga pergerakan kelompok bersenjata yang melintasi perbatasan.
Konflik-konflik bersenjata yang terjadi di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari kepentingan-kepentingan negara-negara di sekitarnya. Masalah Suriah tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan Arab Saudi, Qatar dan Iran di antara pihak-pihak yang berkonflik, selain negara-negara Barat yang mendukung pemberontak dan Rusia yang mendukung pemerintah.
Bahaya bagi Kawasan
Konflik di Irak kali ini juga bisa menjadi masalah serius bagi kawasan sekitarnya, karena keterlibatan negara-negara di sekitarnya di tengah-tengah konflik bersenjata dan konflik sektarian.
ISIL dengan pemimpinnya yang menamakan diri Abu Bakr al-Baghda ini tampaknya tidak hanya menantang Perdana Menteri Irak, Nuri Al Maliki untuk mendirikan kekuasaan menurut konsep kekhalifahannya. Perang yang dilancarkan menuju Baghdad bisa menjadi masalah yang serius di kawasan sekitarnya, bahkan menjadi ancaman bagi Timur Tengah.
Sikap Iran yang mendukung pemerintahan Baghdad yang Syiah, bahkan menyatakan siap bekerja sama dengan Amerika Serikat yang merupakan musuh lama, menandai dukungan atas dasar sektarian yang bisa membuat situasi makin keruh. Sementara pihak Baghdad menuding Arab Saudi terlibat di balik aksi pemberontakan. Jika ini benar maka, persoalannya bukan sekadar keamanan dalam negeri Irak, namun menyangkut konflik kawasan yang makin panas.
Pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan untuk mengatasi konflik kawasan di Timur Tengah belakangan ini justru menunjukkan hasil bahwa kawasan itu semakin panas, dan menjadi kawasan yang berbahaya. Pelanggaran hak asasi manusia, dan penderitaan rakyat makin nyata. Hal itu justru terjadi karena konflik di kawasan itu sebagian besar dijawab dengan aksi militer dan adu kekuatan. Hal ini tidaik lepas dari peran negara-negarasekitarnya, Barat, dan juga PBB. Krisis di Irak tidak lepas dari meluasnya perang di Suriah yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan di Timur Tengah selama ini perlu dilihat kembali secara cermat dan secepatnya untuk mencari pendekatan yang lebih tepat dengan situasi di sana. Hal ini bukan saja pada pihak-pihak di dalam negara yang tengah bergolak, tetapi justru pada negara-negara lain yang terlibat dan melibatkan diri. Dewan Keamanan PBB perlu melihat masalah ini dalam kacamata yang lebih kritis.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...