Pilpres dan Budaya Demokrasi
SATUHARAPAN.COM – Kampanye untuk pemilihan presiden telah berlangsung 22 hari dan masih tersisa sembilan hari untuk kedua pasangan calon presiden merebut hati rakyat untuk memperoleh mandat sebagai presiden Indonesia 2014 – 2019. Rakyat akan menentukan pilihan pada 9 Juli mendatang.
Pada awal kampanye, bahkan juga sebelum kampanye secara resmi digelar, juga sudah ada upaya untuk “berkampanye” dengan mengerahkan segaya daya. Namun memasuki pekan ketiga kampanye, tampak bahwa para kandidat dan pendukung telah terkuras “energi” mereka. Setelah segala cara digunakan untuk mempromosikan kandidat yang didukung, termasuk melalui media sosial, tampaknya mulai memasuki situasi “jenuh”.
Para pendukung kadidat pada awalnya mempromosikan “keunggulan” pasangan yang didukung, namun kemudian seperti kehabisan gagasan, dan mulai melancarkan serangan kepada kubu lawan dengan kampanye hitam (black campaign) dengan menghalalkan segala cara. Berbagai foto yang direkayasa, gambar dan pernyataan dibuat untuk memojokkan pihak lain, untuk membuat citra buruk pihak lain.
Yang paling memprihatinkan adalah munculnya media yang berisi informasi yang tidak benar, beberapa menyebutnya sebagai berisi fitnah, yang disebarkan secara masif untuk menyerang salah satu kandidat. Demikian juga dengan pemalsuan dokumen hasil survei di negara lain yang tidak terkait, dan disebarkan sebagai “seolah-olah” temuan survei terbaru tentang pilpres Indonesia. Juga pemalsuan dokumen-dokumen yang memberikan informasi yang menyesatkan.
Perkembangan tentang cara-cara kampanye yang tidak bertanggung jawab itu memberi peringatan tentang kampanye yang membahayakan. Hal ini bertentangan dengan prinsip dari pilpres sebagai salah satu proses demokrasi untuk memilih kepala negara dan kepala pemerintahan dengan cara yang bermartabat. Dan demokrasi dipilih sebagai proses politik yang bertujuan agar Indonesia bisa mencapai cita-citanya sebagai bangsa dan negara.
Oleh karena itu, cara-cara buruk dalam kampanye pilpres ini harus dihentikan. Apa yang sudah terjadi harus menjadi peringatan bahwa kita masih belum mampu mencapai budaya demokrasi. Kita memang sudah mampu menyelenggarakan pemilihan umum sebagai proses demokrasi, namun hal itu belum dijalankan dengan nilai-nilai yang mencerminkan budaya demokrasi.
Koalisi partai politik yang penuh dengan transaksi jabatan dan uang, dukungan pimpinan ormas yang mengindikasikan “menjual suara” rakyat, adalah sikap yang mencederai nilai demokrasi, dan hak warga. Hak memilih adalah hak individu yang dilindungi dan dijaga dengan pemilihan secara langsung dan rahasia, sehingga “pernyataan dukungan” adalah transaksi politik yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, kalau bukan "transaksi bodong" dan "penipuan".
Selain itu, kampanye dengan bernada “pemaksaan” juga mencederai nilai-nilai demokrasi dan tujuan negara. Hal ini terjadi karena ada pemberian uang atau dalam bentuk lain yang diarahkan untuk “memaksa” pihak lain memilih kandidat tertentu. Cara-cara seperti ini tidak akan membawa Indonesia memasuki budaya demokrasi yang sehat dan benar. Apalagi yang dilakukan sudah berupa fitnah dan pemalsuan data dan dokumen.
Hal ini juga menyadarkan kita bahwa di dalam bangsa ini masih ada, bahkan mungkin cukup banyak, anasir yang tidak menghendaki Indonesia berpolitik dengan budaya dan nilai demokrasi. Mereka yang menggunakan demokrasi sebagai sekadar bisa bersuara bebas dan sekadar cara merebut kekuasaan, pada dasarnya justru mengkhianati nilai dan budaya demokrasi.
Sembilan hari yang tersisa untuk kampanye pilpres, harus didorong untuk proses yang dengan sadar membangun bangsa ini ke dalam budaya dan nilai demokrasi yang sesungguhnya, bukan sekadar rakyat mencoblos untuk memilih presiden. kampanye yang tersisa hqaruslah dengan sadar dilakukan untuk mencegah konflik di dalam kehidupan politik dan masyarakat, karena demokrasi adalah cara untuk proses politik yang damai.
Jika hal itu tidak bisa juga dihentikan dalam masa kampanye yang tersisa ini hingga hari-hari menjelang pemungutan suara, rakyat haruslah mengambil sikap yang tegas untuk membangun budaya demokrasi. Rakyat sebaiknya menggunakan hal ini sebagai kriteria dalam menentukan pilihan. Tegasnya, kandidat dan pendukung mereka yang dalam kampanye tidak menggunkan cara-cara yang dibenarkan dalam nilai dan budaya demokrasi adalah anasir bahaya bagi bangsa ini, dan karenanya tidak pantas dipilih.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...