Waspada Politik Identitas di Pilpres
SATUHARAPAN.COM - Pakar politik, Dr. Thomas Meyer dari Universitas Dortmund, Jerman, dalam sebuah ceramah di Jakarta tahun 2011 mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan paham yang menawarkan “ruang perlindungan” melalui identitas yang eksklusif.
Fundamentalisme senantiasa bertendensi membentuk sebuah sistem berpikir tertutup yang dengan demikian secara sistematis mengisolasi perbedaan pendapat, meragukan alternatif dan keterbukaan. Hal ini yang menanamkan pandangan bahwa kekerasan pun bisa menjadi pilihan yang dibenarkan oleh agama yang mencirikan pandangan fundamentalisme.
Pandangan fundamentalisme yang seperti ini mendorong munculnya politik identitas yang melakukan politisasi perbedaan, terutama agama, sebagai alat mendapatkan legitimasi politik. Identitas agama dijadikan sarana mobilisasi massa, khususnya dalam pemilihan umum, untuk mengabdi pada kepentingan politik dan akumulasi kapital.
Politik identitas berkecenderungan memanfaatkan peluang politik merebut kekuasaan melalui tumbuhnya fundamentalisme di tengah masyarakat. Dan di sisi lain, praktik politik identitas juga mendorong suburnya pertumbuhan fundamentalisme.
Politik identitas sering menjadikan pemilihan umum sebagai proses demokrasi untuk mencapai kekuasaan dalam upaya mengubah atau kembali pada paham yang mereka yakini sebagai dasar atau asas dalam masyarakat atau negara, sehingga kelompok ini sering berbenturan dengan kelompok lain, bahkan di lingkungan mereka sendiri.
Watak fundamentalisme yang berpotensi menciptakan antagonisme, sering kali membuat perbedaan menjadi bersifat eksplosif ketika dipolitisasi. Dalam proses politik, khususnya pemilihan umum , kecenderungan menciptakan antagonisme nyaris tak terhindarkan. Pemilih sering “dilemparkan” pada arena untuk melihat dan menghadapi pihak lain sebagai “kawan” atau “musuh.” Kompetisi seperti ini yang berpotensi menjadi konflik berkekerasan.
Meskipun politik identitas tidak memberi kontribusi agar politik mencapai tujuan sebenarnya dalam membangun ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan, Meyer menyebutkan juga bahwa politik identitas terbukti sebagai resep universal yang berguna untuk mencapai kekuasaan, bahkan cara yang “murah.” Barangkali hal ini yang menjadikan elite politik begitu gampang menggunakan politik identitas untuk merebut kekuasaan. Namun di sinilah letak perbedaan proses politik itu sebagai “perebutan kekuasaan” atau “kompetisi menjadi pemimpin”.
Dalam pemilihan anggota legislatif April lalu dan pemilihan presiden yang tengah berlangsung, sayangnya kita menyaksikan digunakan dan dipraktikannya politik identitas. Isu yang menyudutkan pihak lain atas dasar perbedaan identitas tentang etnis, ras, jender, dan keyakinan digunakan dalam kampanye dengan massif, bahkan secara terbuka. Hal ini makin terasa pada pemilihan presiden, dan terutama oleh para pendukung mereka.
Isu-isu identitas seperti itu bertendensi bahwa warga negara yang meskipun mempunyai hak dipilih, menjadi tidak layak dipilih lantaran latar belakang etnis, ras, jender dan keyakinan mereka. Bukan karena kemampuan dan kredibilitasnya dalam menjalankan UU dan konstitusi. Isu-isu seperti itu jelas merampas hak asasi warga negara yang bersangkutan, dan HAM adalah basis dari demokrasi dalam berbangsa dan bernegara.
Munculnya fenomena tersebut juga menandai cara berpikir fundamentalisme yang tertutup dan menegasikan alternatif, namun dikemas dengan tujuan memberi keamanan, keyakinan, orientasi, dan identitas eksklusif yang mantap dan dengan kebenaran yang menyeluruh. Cara berpikir seperti ini akan menimbulkan ketegangan dan konflik terus-menerus. Kita bisa melihat contoh pada situasi di sejumlah negara yang terus dirundung konflik, bahkan konflik bersenjata, dicirikan oleh kuatnya praktik politik identitas. Kelompok-kelompok itu, bahkan menghadapi konflik internal yang tak kunjung habis.
Politik identitas yang dipraktikkan oleh sebagaian anasir dalam politik di Indonesia, bisa menjadi bahaya yang serius. Mereka bukan saja memanfaatkan kelompok dengan paham fundamelisme, tetapi juga proses politik dan demokrasi dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok fundamentalisme untuk tujuan eksklusif mereka yang pasti bertentangan dengan tujuan konstitusi.
Fundamentalisme berpotensi pada semua agama, dan politik identitas dengan memanfaatkan fundamentalisme agama berpotensi di banyak negara. Dalam konteks dan situasi Indonesia, hal ini pantas menjadi perhatian para elite politik untuk tidak bermain api dengan politik identitas. Atau setidaknya harapan ada pada “kearifan” warga negara yang bersedia berpolitik dengan lebih rasional, yaitu berani menolak praktik politik identitas yang dicerminkan dalam pilihannya pada proses politik, termasuk pada 9 Juli yang akan datang.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...