Memilih Presiden, Menjalankan Tugas Kenegaraan
SATUHARAPAN.COM – Kampanye pemilihan presiden hari Sabtu (5/7) ini memasuki hari terakhir. Selama tiga hari akan menjadi hari tenang, tanpa hiruk-pikuk kampanye, dan pada Rabu (9/7) rakyat Indonesia akan memilih presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 2014 – 2019.
Selama sebulan telah disediakan panggung bagi calon presiden dan wakil presiden serta para pendukungnya untuk tampil dan berbicara. Mereka diberi kesempatan untuk mengajukan rancangan-rancangan apa yang akan dilakukan selama menjabat presiden dan wakil presiden. Mereka menawarkan akan seperti apa kehidupan bangsa dan negara Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Mulai hari Minggu (6/7) panggung telah ditutup, dan apa yang telah mereka lakukan, mereka katakan, mereka janjikan, seperti batu yang dilempar ke danau; tak akan bisa ditarik kembali. Penampilan mereka akan mencitrakan sesungguhnya citra dan karakter mereka, dan menjadi sarana menakar kelayakan memimpin Indonesia.
Sayangnya, kampanye pemilihan presiden ini banyak diwarnai kampanye hitam dan kampanye yang berbau politik identitas yang membahayakan kesatuan bangsa, bahkan mengangkat isu-isu sektarian yang mengkhianati kenyataan Indonesia yang begitu beragam, serta penyebaran informasi yang tidak benar.
Kampanye hitam seringkali menyakiti perasaan kebangsaan. Meskipun dilakukan dengan menduga bahwa hal itu akan menaikkan popularitas, dan menurunkan popularitas lawan, tetapi sebaliknya hati nurani rakyat yang merasakan kepahitan akan menerimanya dengan pandangan sebaliknya. Tujuan kampanye hitam akan berbalik menurunkan popularitas pada mereka yang melakukan.
Masa tenang tiga hari ke depan, adalah waktu yang menjadi kesempatan bagi rakyat menimbang pilihan mereka untuk lima tahun kedepan kepemimpinan Indonesia. Oleh karena itu, masa tenang ini, bersamaan dengan puasa, semestinya dihormati sebagai kesempatan bagi rakyat mengambil keputusan terbaik dengan pertimbangan yang luas dan mendalam.
Masa tenang ini sudah seharusnya tidak mencontoh pemilihan umum sebelumnya, di mana kampanye terselubung, kampanye tersembunyi, gerakan pengerahan pemilih “di bawah tanah”, bahkan gerilya untuk menyuap rakyat agar memilih kandidat, diharapkan tidak terjadi. Seluruh atribut kampanye di ruang publik, di media massa, dan media sosial juga seharusnya sudah tidak ada lagi.
Namun bagaimana jika hal itu tidak terjadi? Pemimpin adalah teladan, dan presiden serta wakil presiden tentunya teladan dalam ketaatan terhadap hukum dan konstitusi, teladan dalam perilaku etik dan moral. Kampanye terselubung di masa tenang adalah pelanggaran. Maka jika hal itu dilakukan, rakyat pemilih sebaiknya menjadikan hal itu pertimbangan untuk tidak memilih kandidat pelanggar hukum.
Sekarang yang perlu dijaga adalah bagaimana proses pemungutan suara berlangsung sesuai prinsip pemilihan umum, dan mencerminkan sikap yang kesatria. Penghitungan suara harus dijaga agar didasarkan fakta, dan bersih dari manipulasi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan mandat untuk menjaga hal itu.
Kita memang banyak yang kecewa atas kinerja Badan Pengawas Pemilu, baik pada pemilihan legislatif maupun masa kampanye pilpres. Ada begitu banyak pelanggaran yang dibiarkan begitu saja. Fungsi pengawasan menjadi tumpul, dan membahayakan kredibilitas hasil pemilu. Kita berharap Bawaslu berubah dan bekerja dengan tegas dan netral di masa-masa penting dalam pemilihan presiden.
Bagi para kandidat dan pendukung, keputusan rakyat telah disepakati sebagai proses dan hasil untuk transisi kepemimpinan Indonesia. Apapun yang diputuskan rakyat Indonesia harus diterima, dan sepantasnya kompetisi yang telah berlangsung tidak ditransformasi menjadi konflik. Sebab, demokrasi itulah mekanisme transisi kepemimpinan yang damai dan mencegah konflik.
Bagi rakyat Indonesia, pemilihan ini harus dihayati sebagai tugas kenegaraan yang penting. Pilihan rakyat akan sangat menentukan perjalanan kehidupan bangsa dan negara. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari kepentingan-kepentingan sektoral, sesaat, bahkan kepentingan pribadi. Pemilih mengemban tugas kenegaraan yang menuntut tanggung jawab etik, moral dan konstitusional. Oleh karena itu, pertimbangkan pihak-pihak yang menggunakan kampanye hitam, menggunakan politik identitas yang bersekutu dengan sikap-sikap fundamentalisme, hal itu pantas dijadikan dasar untuk tidak memilih mereka yang terlibat.
Sebaliknya, pemimpin yang mengutamakan kohesi kebangsaan, yang menjunjung konstitusi, yang menghargai martabat setiap warga negara dengan berbagai latar belakangnya, yang bekerja dengan landasan moral dan etika, menjadi pertimbangan untuk dipilih, diberi mandat memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Pemilihan presiden 9 Juli mendatang adalah batu pijakan penting bagi Indonesia menatap masa depan. Rakyat Indonesia yang mempunyai hak pilih, selayaknya mengambil tanggung jawab ini dengan sepenuh hati dan menempatkan sebagai tanggung jawab kenegaraan.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...