Menjaga Demokrasi dengan Etika dan Moral Politik
SATUHARAPAN.COM – Dua pasang kandidat presiden dan wakil presiden dalam pemilihan 9 Juli kemarin mengklaim mendapatkan mandat dari rakyat untuk menjadi presiden dan wakil presiden 2014 -2019. Keduanya mendasarkan klaim itu dari hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga dan disajikan ke publik melalui sejumlah media massa.
Hal itu muncul karena setidaknya ada dua “kelompok” lembaga yang melakukan hitung cepat. Satu kelompok menunjukkan hasil bahwa pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh suara lebih banyak daripada pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dan “kelompok” lainnya menyebutkan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla unggul dibanding pasangan Prabowo-Hatta.
Ada beberapa hal yang menimbulkan keprihatinan tentang situasi tersebut, dan menimbulkan kekhawatiran yang serius, karena selama kampanye persaingan telah dilakukan dengan cara-cara yang “kasar”. Kita telah menyaksikan kampanye hitam dan penyebaran informasi-informasi yang tidak benar, bahkan intimidasi, dan praktik politik uang, dan mengeraskan politik identitas yang merendahkan martabat warga negara.
Independensi Hitung Cepat
Keprihatinan pertama adalah munculnya hasil hitung cepat (Quick Count) yang sangat berbeda. Bagaimana bisa metode ilmiah yang semestinya objektif dan dilakukan secara independen menunjukkan halsil yang sangat berbeda? Kita tidak hanya mempertanyakan metodologi yang digunakan, namun juga mempertanyakan idependensi lembaga yang menyelenggarakan.
Hasil hitung cepat yang diharapkan memberikan gambaran sesegera mungkin hasil pemungutan suara dan diharapkan memberikan ketenangan bagi masyarakat, justru hasilnya menimbulkan kecemasan. Bahkan penggunaan informasi hasil hitung cepat itu cenderung membawa publik pada polarisasi yang membahayakan terjadinya perpecahan.
Kita benar-benar berharap bahwa asosiasi lembaga penelitian seperti itu bisa mengaudit lembaga penyelenggara hitung cepat dengan segera, sehingga publik segera mendapatkan gambaran mana hasil hitung cepat yang objektif dan bisa dipercaya, dan mana yang dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar. Publik membutuhkan informasi yan g menjadi acuan, dan bukan mengacaukan.
Jika yang terjadi karena kesalahan metodologi, barangkali masalahnya bisa lebih sederhana. Yang dikhawatirkan justru jika sumber masalahnya pada independensi dan objektivitas. Artinya, ada kepentingan yang mendesain hasil dan mengabaikan fakta yang diperoleh. Jika ini yang terjadi berarti ini masalah etika dan moral yang serius.
Mengaku Kalah
Tentan klaim kemenangan oleh kedua pasang kandidat, hal itu sangat disayangkan terjadi. Hasil hitung cepat yang objektif memang akan memberikan gambaran hasil yang riil dan bisa dijadikan panduan menggambarkan tetang hasil sebenarnya. Namun hasil resmi tetap akan berdasarkan hitungan berjenjang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Oleh karena itu, klaim itu juga belum bisa dikatakan sah, kecuali member gambaran tentang hasil nyata yang akan diumumkan KPU 22 Juli mendatang.
Dalam etika politik, klaim kemenangan ini menimbulkan memprihatinkan, karena tidak membawa kita menjadi makin dewasa dalam berdemokrasi, dan menyikapi hasil pemilu dengan lebih tenang. Kita patut mencontoh negara-negara yang telah lebih lama berdemokrasi, di mana hasil pemilihan presiden, misalnya, tidak diklaim sepihak oleh kandidat, tetapi justru datang ketika pihak yang “kalah” mengakui kekalahannya.
Etika Politik
Setelah pemungutan suara, persaingan semestinya sudah selesai. Masalahnya hanya waktu untuk menghitung hasil, dan semestinya kita menghargai proses yang membutuhkan waktu. Kita juga patut menjunjung kejujuran dan menjaga kredibilitas dengan berlaku objektif, baik bagi para pendukung kandidat, dan terutama petugas pemilihan dari TPS hingga KPU pusat. Mengabaikan etika dan moral dalam proses ini sama artinya membahayakan demokrasi yang tengah kita kembangkan, dan kita masih pada tahap yang begitu “muda”.
Kita prihatin dengan KPU di mana masih ada masalah-masalah yang mengabaikan hak warga untuk memilih. Juga kepada Bawaslu yang tampaknya tidak berperan semestinya untuk menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran kampanye, bahkan pidana pemilu. Namun dalam situasi terakhir ini, kedua lembaga menjadi salah satu tumpuan penting untuk menjaga proses pemilu ini memiliki legitimasi, bukan saja secara formal, tetapi juga secara etika dan moral.
Kita menyadari bahwa demokrasi di Indonesia belum matang. Kita membutuhkan proses untuk bertumbuh dalam demokrasi, sehingga tidak saja mempu menyelenggarakan pemilihan umum, tetapi menjalankan demokrasi dengan etika dan moral. Demokrasi hanya akan menjadi sarana yang berguna ketika etika dan moral mewarnai perilaku politik dalam setiap proses.
Semoga pemilihan presiden yang berlangsung di tengah bulan Ramadhan ini, di mana warga Indonesia yang Muslim menjalankan ibadah, memberikan kita kekuatan moral dan etika untuk menjaga demokrasi dengan menjunjung tinggi moral dan fatsun politik. Kita berharap situasi tetap aman dan ikatan kebangsaan tidak terganggu dan segera diumumkan presiden baru yang akan bekerja untuk mewujudkan janji-janji politiknya.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...