Krisis KPK: Ujian Berat Jokowi
SATUHARAPAN.COM - Institusi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kini berada pada ambang krisis yang sangat berbahaya. Bahkan, seperti diakui Abraham Samad, Ketua KPK, saat menerima kunjungan tokoh-tokoh agama hari Jum'at (06/02) kemarin di kantornya, krisis yang sekarang jauh lebih berat dibanding kasus "Cicak vs. Buaya" tahun 2009 lalu.
"Dulu masih ada pihak yang bisa menjadi tempat pengaduan kalau terjadi konflik seperti ini," tuturnya. "Sekarang sudah tidak ada. Sebab hampir semua partai politik, termasuk partai politik pemenang pemilu, ikut mengkriminalisasi KPK."
Pernyataan Samad itu didukung oleh Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK yang ikut mendampingi saat pertemuan berlangsung, sebelum tokoh-tokoh agama menggelar "doa lintas-iman" di pelataran KPK. Ia menengarai ada upaya yang intensif dan sistematis guna melemahkan posisi KPK. Bambang mengkhawatirkan skenario terburuk yang dapat dihadapi di masa depan: Polri akan menggeledah kantor KPK.
"Jika penggeledahan itu jadi dilakukan, maka konsekuensinya sungguh berat: dapat terjadi pertumpahan darah, terutama di kalangan masyarakat sipil yang selama ini membentengi gedung KPK," ujarnya dengan nada prihatin.
Ungkapan keprihatinan Bambang itu muncul, karena sebelumnya beredar rumor yang santer bahwa Mabes Polri akan "menggeledah" kantor KPK. Tentu saja penggeledahan itu dikhawatirkan akan menghilangkan dokumen kasus-kasus besar korupsi yang melanda akhir-akhir ini, mulai dari skandal Century sampai Hambalang. Malah rumor tersebut sempat menjadi heading berita salah satu televisi swasta, dan beredar luas melalui jejaring sosial media. Syukurlah, rumor tersebut segera dibantah oleh Wakapolri Komjen Badrodin Haiti.
Kriminalisasi KPK
Terlepas dari rumor soal penggeledahan itu, KPK kini memang berada di ujung tanduk semenjak kontroversi pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, menggantikan Jenderal Sutarman, 9 Januari lalu. Empat hari kemudian, KPK langsung mengumumkan penetapan tersangka suap pada calon Kapolri itu.
Tak pelak lagi, situasi politik segera memanas. Muncul desakan publik yang kuat agar Presiden Joko Widodo membatalkan pencalonan itu. Pada saat bersamaan, pihak Mabes Polri juga tidak tinggal diam. Seperti dilaporkan Majalah Tempo (8 Februari 2015), hanya selang beberapa jam setelah pengumuman KPK, Sugianto Sabran, politisi PDIP dan pengusaha kayu yang tinggal di Pangkalan Bun, Kalteng, dikontak untuk mengulangi pengaduan yang pernah ia lakukan hampir tiga tahun lalu terhadap Bambang Widjojanto untuk kasus memerintahkan saksi memberi keterangan palsu di Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, tahun 2012 kasus itu sudah dicabut oleh Sugianto sendiri. Kepada Tempo ia mengaku, ia diminta "menggugat lagi karena ini saat yang tepat."
Maka rencana gugatan pun disusun. Semua rancangan itu berlangsung dalam rapat-rapat yang diadakan di kantor Bareskrim Polri, langsung dipimpin oleh Kepala Bareskrim, Irjen Budi Waseso, yang baru dua hari menggantikan Kepala Bareskrim sebelumnya, Komjen Suhardi Alius. Cerita selanjutnya kita sudah tahu: tanggal 23 Januari, pagi hari, Bambang Widjojanto dicokok dua petugas Bareskrim setelah mengantar anaknya.
Genderang perang sudah ditabuh. Dan tampaknya akan berjalan lama. Sebab, selain Bambang, tiga komisioner KPK lain sudah masuk dalam "bidikan" Bareskrim: Abraham Samad, Ketua KPK, serta dua Wakil Ketua, Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja. Zulkarnain dituduh menerima suap Rp. 5 milyar dan mobil Toyota Camry, sementara Adnan dilaporkan mengambil alih saham perusahaan PT Daisy Timber secara ilegal.
Sedangkan kasus yang menimpa Abraham Samad malah lebih menggegerkan. Bukan saja karena foto-foto mesra yang beredar di jejaring media sosial dan ramai dibicarakan, tetapi juga tuduhan keterlibatannya membuat dokumen palsu bagi seorang perempuan dari Pontianak untuk mengurus paspor di Makassar tahun 2010. Nah, untuk kepentingan itu, perempuan tersebut diaku Samad sebagai keluarganya, sehingga namanya dicantumkan di Kartu Keluarga Samad.
Sudah tentu Samad membantah semua tuduhan tersebut. Namun, konon, Bareskrim sudah mengantongi bukti-bukti kuat.
Menanti Presiden
Terlepas dari siapa yang benar, kriminalisasi KPK telah membuat lembaga itu lumpuh dan kehilangan kewibawaannya. Bahkan terancam hancur, karena seluruh pimpinannya bisa menjadi tersangka.
Soal ini yang memberati pikiran Bambang, saat menerima tokoh-tokoh agama. "Jika kondisinya makin tak menentu, kami akan siap mengembalikan mandat kepada yang berwenang, yakni Presiden," ujar Bambang. "Kami tidak gave up. Tetapi kalau demi integritas KPK sebagai institusi kami sebagai pimpinan harus mundur, kami pun siap."
Namun alternatif apa saja yang tersedia bagi Presiden? Tampaknya ada dua opsi yang bisa dipertimbangkan. Pertama, menghentikan sama sekali upaya kriminalisasi terhadap 3 komisioner KPK lain (Samad, Zulkarnain dan Adnan). Walau memang sudah ada pengaduan resmi, tetapi pihak Polri dapat menunda penyidikan, setidaknya sampai ketiganya menyelesaikan masa tugas mereka di KPK Desember nanti. Sementara dalam kasus Bambang yang sudah dijadikan tersangka, biarlah proses hukum berlangsung secara adil dan transparan.
Kedua, langkah yang lebih "drastis": Presiden segera mempercepat proses pergantian pimpinan KPK. Seperti diusulkan Menkumham Yasona Hamongan Laoly, lewat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Presiden dapat menetapkan "komisioner sementara" sebagai pelaksana tugas (Plt) guna menggantikan para pimpinan KPK sekarang, jika mereka menjadi tersangka, sampai Desember 2015. Komisioner sementara ini, ujar Laoly, sebaiknya diisi oleh komisioner KPK lama, seperti Tumpak Hatorangan Panggabean atau Taufiequrachman Ruki.
Apapun pilihan yang diambil, tampaknya makin kelihatan bahwa krisis KPK kali ini adalah ujian sangat berat bagi kepemimpinan Jokowi semenjak ia dilantik menjadi Presiden. Karena sudah bukan rahasia umum, di balik "perseteruan" panas KPK vs. Polri, tersembunyi pertarungan Presiden melawan kekuatan oligarkis yang mengelilinginya. Dapatkah Presiden menyelamatkan institusi KPK sekaligus institusi Polri, tanpa tersandera oleh kepentingan-kepentingan di belakangnya?
Yang jelas, kini semua terletak di tangan Jokowi. Mari kita menantikan langkahnya dengan was-was. Sebab, selama kunjungan kerjanya ke luar negeri, apa saja dapat terjadi di sini.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...