Kristen Libya Khawatir Hilangnya Kebebasan Beragama
TRIPOLI, SATUHARAPAN.COM - Para pemimpin Gereja di Libya berharap bahwa orang Kristen di negara itu tetap akan bisa menjalankan dan mempraktikan iman mereka, meskipun sebagian besar warga negara itu adalah Muslim, dan perubahan tampaknya mengarah pada diterapkannya hukum berdasarkan syariah Islam.
Pada bulan Desember, Kongres Umum Nasional Libya menyusun undang-undang dan lembaga yang bersumber dari syariah. Pemungutan suara dilakukan di tengah kekhawatiran internasional atas berkurangnya populasi Kristen di Afrika Utara dan Timur Tengah dengan meningkatkan pengaruh Islam di negara-negara yang tengah dilanda revolusi Musim Semi Arab.
Libya mengalami transisi dalam dua tahun sejak 2011, ketika demonstrasi menggulingkan Presiden Moammar Gadhafi. Sebelum revolusi, umat Kristen mendapatkan kebebasan beragama. Namun dengan perubahan kekuasaan, mereka banyak yang ditangkan dengan sewenang-wenang, diserang, dibunuh, dan dipaksa oleh kelompok-kelompok Islam untuk masuk Islam.
Pada bulan September, dua orang Kristen meninggal di Distrik Derna, Libya timur laut setelah mereka menolak untuk pindah agama secara paksa. Gereja Koptik St Mark di Benghazi juga diserang dua kali pada tahun 2013, menurut Barnabas Fund, sebuah badan amal Kristen dari Inggris yang memberikan bantuan untuk negara-negara mayoritas Muslim.
Sebuah kelompok terkemuka Libya, Ansar Al-Syariah yang terkait dengan serangan pada September 2012 terhadap konsulat Amerika Serikat di Benghazi, menuduh beberapa anggota parlemen sebagai tidak Islami.
Perlu Jaminan
Namun Celso Larracas, seorang imam di Gereja Katolik St Francis di Tripoli mengatakan bahwa hanya sejumlah kecil warga Libya yang menghendaki syariah Islam sebagai dasar hukum negara itu.
"Mereka (anggota kongres umum) bersikeras pada itu (syariat Islam), tapi saya pikir banyak warga Libya ingin berdampingan dengan orang asing," kata Larracas.
Penduduk Kristen Libya terutama terdiri dari orang asing yang bekerja di negara tersebut, dan hanya sedikit komunitas Kristen pribumi. Ada sekitar 300.000 orang Kristen Koptik dan 80.000 warga Katolik Roma sebelum jatuhnya Gadhafi. Selain itu juga ada warga dari Gereja Anglikan dan Pantekosta. Komunitas Kristen di sana umumnya menyelenggarakan rumah sakit dan pusat-pusat pendidikan yang terbuka untuk semua agama.
Meskipun orang Kristen menghadapi serangan, Libya bergantung pada keahlian profesional mereka, dan interaksinya dengan masyarakat internasional. "Orang-orang asing yang melakukan sebagian besar pekerjaan profesional, terutama di sekitar industri minyak," kata Larracas.
Dengan meningkatnya dorongan untuk konstitusi Islam, pemimpin gereja telah berusaha agar pemerintah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang Kristen, kata Pendeta Eben Vasihar Baskaran dari Gereja Anglikan Kristus Raja di Tripoli.
"Mereka telah meyakinkan kita bahwa kita harus bebas untuk ibadah, bahkan dengan undang-undang baru," kata Baskaran dalam sebuah wawancara telepon. Dia menjelaskan bahwa orang-orang Kristen di Libya bebas untuk beribadah, tetapi tidak diizinkan menginjili.
Revolusi Arab Spring
Komunitas Kristen di Libya, sebagaimana di negara-negara lain di mana revolusi Musim Semi Arab (Arab Spring) menumbangkan kekuasaan pemerintah otokratis, berharap untuk lebih banyak mendapat jaminan kebebasan beragama. Namun ternyata hal itu tidak pernah terjadi.
Di Mesir, gereja-gereja Koptik telah dibakar atau dibom sejak Presiden Hosni Mubarak digulingkan pada tahun 2011. Di Tunisia, di mana Arab Spring dimulai, orang Kristen menghadapi pelecehan dan diskriminasi. Sejak penggulingan Presiden Tunisia, Zine Abedine Ben Ali, pada tahun 2011, negara itu telah bergerak menuju ke arah negara Islam, meskipun perdana menteri negara itu mengumumkan pengunduran dirinya pada hari Kamis (9/1) lalu.
Dosen studi agama di Universitas Islam di Uganda, Sheikh Hamid Byamugenzi, menunjukkan bahwa sangat jelas umat Kristen di negara-negara tersebut dilecehkan.
"Kelompok-kelompok memegang kekuasaan atau memimpin revolusi ingin melihat banyak ruang diberikan kepada praktik (hukum) Islam," kata dia. "Tapi saya pikir mereka harus berdiskusi di antara mereka sendiri untuk menyetujui bagaimana untuk hidup berdampingan dengan orang lain."
Di Aljazair, Profesor Larbi Djeradi, seorang Muslim yang mengajar di University of Mostaganem, mengatakan bahwa intoleransi terhadap non Muslim di Afrika Utara dan Timur Tengah merupakan produk manipulasi politik.
"Persepsi Syariah Islam di dunia Barat benar-benar negatif dan pemahaman yang oleh Muslim radikal juga negatif," kata Djeradi.
Dia menyebut Musim Semi Arab merupakan gangguan politik sesaat yang "mendapat tempat dalam logika dinamika sejarah daerah." (religionnews.com)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...