Kristofel Praing: Negara Tidak Boleh Diskriminatif
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Cerita tentang praktik diskriminatif terhadap kelompok masyarakat adat dan kepercayaan lokal sudah sering didengar. Tetapi cerita tentang seorang birokrat negara mengadvokasi kasus diskriminasi seperti itu, sungguh sangat langka.
Kristofel Praing adalah orang langka itu. Pria kelahiran Waingapu, Sumba Timur, tahun 1965 itu kini menjabat sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di daerah tersebut. Dan ia melakukan gebrakan yang tak lazim dilakukan birokrat negara: mengusahakan agar kepercayaan lokal Marapu diakui oleh negara.
“Keberhasilan suatu negara sering hanya diukur lewat capaian material, seperti tingkat ekonomi, pendidikan, kesehatan dan seterusnya,” kata Kristofel Praing pada Rabu (12/3) . “Itu benar. Tetapi untuk saya ada dimensi lebih penting: Negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap warganya. Negara itu ada untuk semua golongan masyarakat.”
Selama ini, kelompok adat dan kepercayaan lokal seperti Marapu di Sumba Timur, maupun kelompok-kelompok lain yang tersebar di seluruh Nusantara, selalu mengalami diskriminasi karena kepercayaan mereka tidak diakui oleh negara. Itu punya akibat fatal: hak-hak sipil dan politik mereka pun terabaikan. Misalnya, perkawinan mereka tidak diakui resmi, anak yang lahir tidak dapat memperoleh akte, dan sebagainya.
Di Waingapu, Sumba Timur, Kristofel melihat sendiri akibat dari praktik diskriminatif yang sudah puluhan, atau bahkan ratusan tahun, berlangsung. “Komunitas Marapu sangat rentan. Kebanyakan mereka miskin, buta huruf, dan tidak memiliki kemampuan apapun,” ujarnya.
Hati pria beranak empat itu pun tersentuh. Dari data yang dimilikinya, ada 22.315 orang dari komunitas Marapu yang hak-hak sipil dan politiknya tidak pernah dipenuhi oleh negara. “Padahal mereka sudah ada jauh sebelum negara ini berdiri,” tegasnya. “Tetapi negara terus menerus mengabaikan keberadaan mereka.”
Maka Kristofel mengambil langkah drastis. Selama setahun terakhir, ia memperjuangkan hak-hak komunitas Marapu. Tanpa lelah ia berbicara dengan pejabat terkait, mulai dari Bupati sampai pejabat di Kemendikbudpar agar mengakui kepercayaan lokal Marapu. “Hanya jika kepercayaan mereka diakui, maka hak-hak sipil dan politik mereka pun bisa dipenuhi oleh negara,” ujarnya.
Tanggal 19 Desember tahun lalu, perjuangan Kristofel mulai memetik hasil. Ribuan orang dari komunitas Marapu bertemu langsung dengan Bupati dan jajarannya. Seminggu kemudian, tanggal 27 Desember, peristiwa serupa berulang. “Untuk pertamakalinya kami merasa didengar dan diakui oleh negara ini,” ujar Kristofel menirukan ucapan salah seorang dari komunitas tersebut.
Perjuangan Kristofel masih panjang. Sampai sekarang, surat yang dilayangkan ke Kemendikbudpar belum pernah mendapat tanggapan. Lagi pula, perjuangannya sungguh tidak lazim bagi banyak orang.
“Saya tidak peduli apa yang akan dikatakan orang lain,” tutur Kristofel Praing. “Saya akan terus memperjuangkan apa yang saya yakini, bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi pada warganya. Sebaliknya, negara justru harus hadir dan melayani mereka!”
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...