Kronologi Tragedi Berdarah Paniai Diungkap Ketua Adat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kronologi berdarah di Paniai, Papua masih menghadirkan tanda tanya besar. Tragedi yang terjadi awal Desember lalu menunjukkan penegakan hak asasi manusia (HAM) di negeri ini masih karut-marut.
John Gobay, Ketua Adat Paniai angkat bicara terkait simpang-siurnya kronologi yang membunuh empat remaja dan melukai belasan lainnya.
John di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Rabu (14/1) siang mengungkapkan tragedi Paniai ini berhubungan dengan stigmatisi terhadap masyarakat Papua dan arogansi aparat. “Di dalam kasus Paniai tidak terlepas dari dua penyebab ini. Kasus ini terjadi pada dua waktu yang berbeda, yakni tanggal 7 Desember malam hari dan tanggal 8 Desember pada pagi hari,” ujar John.
Menurut John, Tragedi Paniai berdarah dimulai dari kedatangan mobil Toyota Rush hitam bernomor polisi B2938CD pada 7 Desember malam sekitar pukul 20.30 WIT di Bukit Togokutu, Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua. Pada malam 7 Desember itu, anak-anak dan remaja Paniai tengah berada di pos Natal.
Oknum yang diduga anggota TNI tersebut melewati jalan tanpa menyalakan lampu.
“Padahal di daerah tersebut tidak ada lampu jalan. Jadi cukup gelap. Kemudian para remaja itu memperingatkan untuk menyalakan lampu. Namun, oknum anggota yang sampai saat ini tidak terungkap pelakunya tersebut tidak terima karena diperingatkan para remaja untuk menyalakan lampu kendaraan. Kemudia mereka melakukan penganiayaan terhadap beberapa anak yang berada di pos tersebut,” John mengungkapkan.
Menurut pengakuan masyarakat setempat, sekitar tujuh orang anggota TNI dan tim khusus (timsus) Yonif 753 Pos Uwibutu turun dari mobil melepaskan tembakan tiga kali ke udara dan menyerbu sekitar 12 anak muda yang menjaga Pondok Natal. Henoik Yeimo dipukul dengan senjata. Luka di bagian kepala, dada, dan kaki. Ada luka sobek di kepala dan kakinya bengkak karena ditendang sepatu laras.
Selanjutnya, pada 7 Desember malam, keluarga mengaku ingin bertemu pihak Polres untuk meminta penyelesaian tragedi masalah tersebut. Keluarga juga ingin mengklarifikasi hal itu.
“Masyarakat ini hanya meminta dua hal kepada oknum yang dianggap menganiaya agar mereka, yaitu agar aparat minta maaf dan mereka ingin meminta ongkos berobat,” kata John.
Namun rupanya masalah itu tidak kunjung selesai. Pihak Polres menjanjikan akan menyelesaikan pagi hari. Akan tetapi menurut pengakuan John, sampai pukul 07.00 WITA tidak ada kelanjutan dari pihak Polres untuk mempertemukan pelaku dan korban.
Kemudian masyarakat menuai protes dengan melakukan pemalangan jalan. Protes itu dianggap sebagai bentuk suara rakyat menanggapi arogansi aparat yang berlebihan.
“Arogansi aparat ini dibuktikan dengan adanya bunyi tembakan dari tempat yang tidak jelas. Karena bunyi tembakan, sementara masyarakat Papua yang berada di sana adalah anak-anak muda, mereka marah. Tiba-tiba datang satu mobil yang menurut dugaan mereka adalah mobil yang semalam melintas, yang datang dan melakukan penganiayaan. Mereka menghentikan mobil dan menyuruh orang dalam mobil itu keluar. Ternyata mobil tersebut berisikan anggota TNI, dalam hal ini anggota Batalyon 753. Mobil aparat tersebut dirusak oleh anak-anak ini. Setelah kejadian ini, anak-anak berari ke sebuah lapangan,” ujarnya.
Menurut pengakuan John, anak-anak ini tidak membawa senjata. Mereka menuju lapangan dekat Markas Koramil, kantor distrik, dan Polsek.
Tidak sampai masuk ke dalam markas aparat, mereka menari-menari di lapangan, menari tarian adat. Tidak lama kemudian, ada suara tembakan dari Koramil.
“Merasa ditantang, anak-anak ini maju ke arah Polsek. Namun ternyata sudah banyak aparat yang disiagakan. Anak-anak ini kemudian berlari. Sayangnya, persis di tengah lapangan itu anak-anak ini terkepung,” kata John.
Mencoba melarikan diri dan menghindar, anak-anak ini malah ditembak oleh aparat.
Menurut John, tak ada satupun alasan aparat gabungan TNI dan Polri melakukan serangan dan tembakan membabi buta ke arah para remaja dan warga yang menyebabkan empat meninggal dan 17 lainnya luka-luka.
Nama-nama Korban
Korban meninggal di tempat ialah Simon Degey, Apinus Gobay, Alfius Youw, dan Yulian Yeimo
Sementara itu, korban yang dirawat di RSUD Madi ialah Otinus Gobay, Oni Yeimo, Yulian Mote, Oktavianus Gobay, Noak Gobay, Bernadus Magay, Akulian Degey, Agusta Degey, Abernadus Bunay, Neles Gobay, Jerry Gobay, Marci Yogi, Oktaviana Gobay, Yulian Tobay, Andreas Dogopia, Yulita Edoway, dan Jerry Kayame.
Hingga kini, masyarakat Paniai berharap kasus ini segera diselesaikan secara terbuka. Mereka juga ingin kasus diusut secara tuntas dan memberikan rasa puas serta rasa adil bagi keluarga korban.
Sementara itu, menurut John, kasus Paniai belum terungkap karena korban hingga hari ini belum diautopsi.
Editor : Eben Ezer Siadari
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...