Kualitas Agama
SATUHARAPAN.COM - Kualitas sebuah agama tidak ditentukan oleh berapa banyak jumlah pengikutnya, tapi oleh berapa jauh ia berdampak bagi kehidupan ini; seberapa besar ia menginspirasi dan mengaspirasi prinsip dan perilaku para penganutnya. Karena itu mencerita-ceritakan atau mem-forward berita orang lain yang pindah agama ke agama kita, bukan saja tidak ada gunanya tapi juga kontraproduktif.
Tidak ada gunanya, karena toh tidak ada pengaruh apa-apa, tidak lantas membuat agama kita jadi lebih “keren” dan orang lain tambah kagum; tidak juga membuat kita jadi lebih beriman dan karenanya hidup kita lebih baik. Cerita-cerita tentang orang pindah agama akhirnya hanya menjadi seperti sekam terbawa angin; numpang lewat, lalu hilang tak berbekas.
Kontraproduktif, karena itu justru bisa menunjukkan hidup keberagaman kita yang rapuh. Kita seolah tidak yakin dengan esensi agama kita sendiri, lalu mengandalkan “dukungan” orang lain (lebih-lebih kalau orang lain itu artis anu atau anak cucu tokoh agama anu). Mirip dengan orang kesasar, bimbang tidak tahu jalan yang benar, lalu lihat-lihat orang lain pilih jalan mana.
Dan yang lebih celaka, kalau itu dibalut dengan kebohongan atau hiperbolisme (cerita melebih-lebihkan); “cuma” saudara jauh adik suami cucu kakak kyai anu, dibilangnya keturunan kyai anu; “cuma” dukun biasa di kampung dibilangnya “dukun sakti madraguna pewaris aji-aji adiluhung Raja Setan”; “cuma nyantri beberapa bulan di pesantren lalu drop out, dibilangnya pernah mendalami agama dan “jebolan” pesantren .
Bayangkan kalau agama dibangun di atas kebohongan dan cerita-cerita hiperbolis begitu; apa bedanya dengan orang jualan obat di pinggir jalan?! Kalau pun sampai ada yang “membeli”, sudah bisa diduga orang macam apa yang mau saja membeli “obat di pinggir jalan,’kan?”
Editor : Tjhia Yen Nie
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...