Kuburlah Kami Hidup-hidup: Menyoal Proses Bernegara yang Belum Selesai
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM Sebuah buku karya Anick HT, seorang pegiat advokasi isu pluralisme dan kebebasan beragama, yang berjudul Kuburlah Kami Hidup-hidup lahir sebagai keprihatinan Anick atas persoalan proses bernegara yang belum selesai.
Hari ini, Minggu (16/2) pukul 18.00 - 22.30 WIB, buku ini akan diluncurkan secara resmi di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta Selatan.
Buku ini memuat lima kisah diskriminasi panjang yang dialami beberapa kelompok minoritas di Indonesia. Meskipun konstitusi negeri ini sudah menjamin kesetaraan antarwarga negara dan kebebasan beragama, namun hingga saat ini diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih terus terjadi.
Anick melihat banyak kasus diskriminasi itu yang tak terselesaikan dan mengakibatkan penderitaan berkepanjangan bagi para korban.
...
jika sama sekali tidak ada tempat bagi kami,
di bui tidak ada tempat bagi kami,
di pembuangan sampah tidak ada,
di pekuburan-pekuburan juga tidak ada,
maka galikanlah bagi kami, Tuan Penguasa,
kuburan
kami seluruh warga pengungsi,
laki-laki, perempuan, tua, muda maupun anak-anak,
siap dan ikhlas dikubur hidup-hidup
...
Kutipan di atas adalah sebagian isi surat warga Ahmadiyah yang sejak 2006 tinggal di Asrama Transito, Mataram. Surat tersebut termuat sebagai bagian dari buku puisi esai berjudul "Kuburlah Kami Hidup-hidup" karya Anick.
Menurut Anick, sebagian orang, bahkan juga bagi kebanyakan aparat negara melihat kehidupan antaragama di negeri ini berjalan dengan sangat normal dan toleransi di masyarakat sudah sangat kuat. Kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap umat Kristen, Ahmadiyah, Syiah, agama-agama lokal, yang mewarnai keseharian masyarakat seakan tidak terjadi.
Kalaupun mereka tahu, mereka menganggap ini hanya kasus kecil yang tidak terlalu penting. Namun bagi kelompok minoritas yang selama ini menjadi korban diskriminasi dan persekusi, negara ini sudah abai terhadap hak-hak konstitusional warganya.
Buku ini mencoba membuka mata dan ingatan publik bahwa ada lebih dari 100 orang warga negara yang sah di negeri ini yang sudah hampir delapan tahun hidup di pengungsian, hanya karena mereka menganut Ahmadiyah.
Juga bahwa di balik kasus penutupan dan sulitnya mendapatkan izin pendirian gereja, ada ribuan, mungkin puluhan ribu warga negara yang sah tidak bisa mendapatkan haknya secara penuh untuk beribadah, hanya karena mereka Kristen. Dan di balik proses beragama yang kelihatan normal, jutaan penganut agama lokal (penghayat kepercayaan) menjadi korban diskriminasi dan persekusi, hanya karena dianggap belum beragama.
Dalam pengantarnya, Anick HT menegaskan bahwa buku ini diniatkan sebagai bagian dari upaya membangun keresahan dan menebarkannya.
"Kita harus resah ketika di tengah hiruk-hiruk dan pikuk-pikuk kehidupan normal kita, sebagian saudara kita dipaksa untuk menjadi hipokrit di sepanjang sisa hidupnya sebagai warga negara yang sah, hanya karena tidak mampu mencantumkan identitas yang melekat dalam dirinya: keyakinannya sendiri.
Sebagian yang lain selama belasan tahun hidup terasing di negeri sendiri. Sebagian lainnya bahkan mati terbunuh, lalu dilupakan begitu saja. Hanya karena mereka berbeda. Ya, hanya karena perbedaan keyakinan; sesuatu yang fitri." (h. 16)
Meskipun berbentuk puisi-esai, sebuah genre yang diperkenalkan oleh Denny JA lewat gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi-nya, puisi Anick HT ini sangat mudah dipahami dan berhasil memotret emosi pembacanya untuk turut merasakan apa yang dirasakan kelompok minoritas.
Anick HT sendiri mengakui bahwa justru dengan format puisi seperti inilah ia berhasil "menampung luapan amarah yang menggelayut, lalu menularkan amarah itu kepada pembaca, tanpa harus berjarak terlalu jauh dengan bayangan makna yang dipahat dari imaji dan metafor yang terlalu melangit. Di lain pihak, jarak yang sama jauhnya juga seringkali dibangun oleh keniscayaan prosedural ilmiah atawa etika jurnalistik yang harus diamini oleh para penulis fakta." (h. 17)
Di tengah kuatnya fenomena kekerasan atas nama agama, buku ini merupakan protes dan sinisme terhadap peran agama dan tokohnya, serta peran negara dan aparatnya. Buku ini menggugah pembaca untuk bukan hanya merasakan kepiluan para korban, sekaligus menggugah untuk turut ambil bagian dalam kekacauan relasi antar-agama di negeri ini. Juga mengingatkan kita bahwa proses kita bernegara belum selesai.
Judul buku : Kuburlah Kami Hidup-hidup
Penulis : Anick HT
Penerbit : ICRP dan Inspirasi.co
Halaman : 170 halaman
Edisi : Cetakan Pertama, Januari 2014
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...