Kukang Jawa, si Pemalu yang Paling Terancam Punah
SATUHARAPAN.COM – Sepasang mata lebar, hidung bulat, serta bulu yang lebat, membuat kukang jawa menjadi hewan yang terlihat menggemaskan. Kukang merupakan primata imut yang kadang disebut pula malu-malu.
Kukang jawa (Nycticebus javanicus), menurut Wikipedia, adalah primata dan spesies kukang asli yang menyebar di bagian barat dan tengah Pulau Jawa. Pada dahinya terdapat pola berlian keputihan yang mencolok.
Kukang jawa bersifat arboreal dan bergerak perlahan, bukan melompat dari pohon ke pohon. Habitatnya termasuk hutan primer dan hutan sekunder, tetapi juga dapat ditemukan di hutan bambu dan mangrove, serta di perkebunan cokelat.
Kukang jawa tidur di cabang terbuka, kadang-kadang dalam kelompok, namun biasanya terlihat sendirian atau berpasangan.
Terkesan santai namun pemalu, tidak sembarang waktu kita dapat melihat kukang. Pasalnya, kukang merupakan satwa nokturnal alias aktif di malam hari. Ia akan tidur pulas saat fajar menyingsing dan bangun kala petang menjelang.
Kukang jawa merupakan jenis kukang yang keberadaannya terancam punah akibat perburuan liar untuk diperjualbelikan. Kukang jawa menjadi salah satu satwa yang dilindungi, bahkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan satwa ini dalam kategori kritis atau terancam kepunahan (critically endangered).
Data International Animal Rescue (IAR) Indonesia menyebutkan, ada 1.000 sampai 2.000 ekor primata jenis kukang jawa yang diperjualbelikan di media sosial setiap tahunnya. Kukang jawa banyak diperjualbelikan di Facebook.
“Pantauan sebelumnya, kukang yang dipelihara ada 300 lebih setahun. Untuk yang dijual secara online 1.000 sampai 2.000, itu data tahun 2016,” kata Perwakilan IAR Indonesia, Agung Ismail, saat berkampanye tentang pentingnya keberadaan satwa dilindungi di Taman Hutan Kota Ciamis, pada 3 Februari 2019, yang dilansir Kompas .com.
“Perburuan kukang jawa cukup tinggi untuk diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan, sehingga populasi di alam terus menurun,” kata pakar konservasi satwa liar dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr Muhammad Ali Imron SHut MSc, pada 3 November 2017 di Fakultas Kehutanan UGM.
Imron menekankan pentingnya upaya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap keberadaan kukang yang sudah terancam punah. Masyarakat diharapkan dapat berkontribusi menyelamatkan dan melestarikan di alam dengan cara tidak menjadikannya hewan peliharaan.
Morfologi Kukang Jawa
Kukang jawa, menurut Wikipedia, beratnya antara 565 dan 687 gram. Berat kukang jawa jantan dewasa sekitar 575 gram, sedangkan betinanya seberat 750 gram, dan penampilannya mirip kukang terbesar, kukang benggala.
Wajah dan punggungnya ditandai dengan garis berbeda yang berjalan di atas mahkota dan bercabang, yang mengarah ke mata dan telinga, yang meninggalkan pola berlian putih di dahi. Warnanya abu-kekuningan. Sebaliknya, kepala, leher, dan bahu memiliki warna krem.
Kukang jawa, mengutip dari uinsgd.ac.id, adalah satwa primata yang termasuk golongan famili Lorisidae dan berkerabat dekat dengan lemur. Kukang jawa dikenal juga sebagai lori.
Kukang jawa pertama kali dideskripsikan secara ilmiah pada tahun 1812 oleh naturalis Prancis, Etienne Geoffroy Saint-Hilaire. Nama spesies “javanicus” mengacu tempat asalnya.
Meskipun awalnya dideskripsikan sebagai spesies yang tersendiri, selama bertahun-tahun kukang jawa dianggap sebagai anak-jenis kukang sunda (Nycticebus coucang), sampai kemudian dilakukan kajian ulang morfologi dan genetika terhadap takson ini pada tahun 2000-an, yang mengakibatkan peningkatan statusnya sebagai spesies penuh.
Kukang jawa berkerabat dekat dengan kukang sunda dan kukang benggala (Nycticebus bengalensis). Spesies ini memiliki dua bentuk, yang dibedakan berdasarkan panjang rambut dan, pada tingkat yang lebih rendah, warna tubuhnya.
Persebaran kukang jawa, mengutip dari ui.ac.id, meliputi pulau Jawa, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Kukang jawa, yang memiliki nama ilmiah Nycticebus javanicus, selain disebut lori dan malu-malu, mengutip dari Wikipedia, juga dikenal dengan nama pukang atau muka geni.
Kukang jawa tergolong pemakan segala (omnivora) dan diketahui menyukai pakan berupa getah pohon, buah- buahan, biji- bijian, daun- daunan, serangga, telur burung, burung kecil, kadal, hingga mamalia kecil .
Kukang jawa mengutip dari unila.ac.id, lebih banyak menghabiskan waktu sendirian, atau dengan kata lain satwa primata ini bersifat soliter atau penyendiri. Perilaku soliter ini tidak berbeda secara signifikan antara jenis kelamin dan juga tidak berbeda pada individu dewasa ataupun pradewasa.
Kukang jawa berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena berfungsi sebagai kontrol populasi serangga. Gigi kukang yang tajam memiliki racun yang sangat efektif untuk membunuh mangsanya.
Konservasi Kukang Jawa
Menurut Frances D Burton, dalam bukunya, The Multimedia Guide to the Non-human Primates (Penerbit Prentice Hall Canada, Ontario, 1995), habitat kukang jawa mencakup wilayah hutan hujan tropis. Keberadaannya pernah ditemukan di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Selain di kawasan tersebut, pernah dilaporkan pula keberadaannya di Garut, Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis. Keberadaan kukang jawa ditemukan di hutan primer, hutan sekunder, hutan bambu, dan talun. Talun atau hutan kebun adalah hutan buatan masyarakat setempat yang terdiri atas beragam jenis pohon bernilai ekonomis serta membentuk struktur multistrata.
Menurut Indah Winarti, dalam skripsinya, “Distribusi dan Struktur Vegetasi Habitat Kukang (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) di Desa Marga Mekar, Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang, Jawa Barat” (Universitas Padjadjaran, Bandung, 2003), talun yang menjadi habitat kukang jawa selalu memiliki bambu sebagai penyusun vegetasinya.
Hal itu menunjukkan salah satu karakteristik preferensi habitat kukang jawa. Karakteristik habitat kukang jawa ditunjukkan dari keberadaan vegetasi yang mendukung kehidupannya, yakni vegetasi untuk tidur dan vegetasi pakan.
Wirdateti, dalam bukunya, Sebaran dan Habitat Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Area Perkebunan Sayur Gunung Papandayan, Kabupaten Garut (Penerbit Berita Biologi, (11)1, 111-118, 2012), menyebutkan hanya 14 persen dari estimasi habitat kukang yang berada di kawasan yang dilindungi, selebihnya hidup di luar kawasan yang dilindungi.
Kukang jawa, yang sering disebut Javan slow loris, mengutip dari ui.ac.id, merupakan salah satu primate endemik Indonesia, yang statusnya kini berada pada kategori critically endangered, dikarenakan jumlahnya yang semakin menurun.
Populasi kukang jawa mengalami penurunan tajam karena perburuan liar untuk diperdagangkan sebagai hewan peliharaan eksotis, dan kadang-kadang untuk obat tradisional. Kenyataan itu mendorong IUCN menetapkan statusnya sebagai spesies kritis, dan memasukkannya ke dalam daftar 25 Primata Paling Terancam Punah di Dunia.
Kukang jawa dilindungi undang-undang Republik Indonesia, dan sejak Juni 2007, terdaftar di bawah Apendiks I CITES, yaitu spesies yang dilarang diperjualbelikan dengan alasan apa pun, kecuali untuk keperluan konservasi dan harus dengan surat perjanjian antarnegara. Meskipun berbagai upaya perlindungan ini telah dilakukan, serta keberadaannya tercatat di beberapa kawasan yang dilindungi, perburuan liar terhadap hewan ini masih terus terjadi.
Nirmala Ayu Aryanti dan kawan-kawan dari Fakultas Biologi FMIPA Universitas Brawijaya Malang, meneliti “Hubungan antara Aktivitas Manusia dan Keberadaan Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Kawasan Hutan Lindung di RPH Sumbermanjing Kulon, Jawa Timur”.
Keberadaan hutan lindung yang tersisa di kawasan Malang Selatan sangat rentan akan kerusakan habitat satwa liar akibat tingginya aktivitas manusia. Keberadaan kukang jawa saat ini mampu bertahan hidup pada kawasan yang dikelilingi oleh aktivitas manusia yang tinggi. Karena itu, pengaruh aktivitas manusia terhadap keberadaan kukang Jawa yang ada di hutan lindung RPH Sumbermanjing Kulon, Jawa Timur perlu diketahui.
Berdasarkan analisis data, ditemukan enam individu kukang jawa. Kukang jawa cenderung ditemukan jauh dari permukiman dan jalan setapak, namun ditemukan dekat dengan jalan utama dan wisata pantai yang berada di sekitar hutan lindung. Karena itu, keutuhan kawasan hutan lindung perlu tetap dijaga dari segala bentuk aktivitas manusia yang tinggi.
Faisal Ardian dan kawan-kawan dari Fakultas Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, meneliti karakteristik struktur ekologi bentang lahan untuk kesesuaian habitat kukang jawa di Kabupaten Temanggung .
Penelitian itu dilakukan untuk mengkarakterisasi struktur ekologi bentang lahan dan menganalisis kesesuaiannya sebagai habitat kukang jawa di Kabupaten Temanggung. Ia menyebutkan kukang jawa menggunakan matriks hutan untuk menjadi habitat, meliputi kegiatan berlindung dan mencari makan. Kukang jawa menggunakan koridor cabang antarpohon untuk berpindah tempat.
Lokasi yang sangat sesuai untuk habitat kukang jawa di antaranya adalah Kecamatan Gemawang, Kandangan, Bejen, Pringsurat, dan Kranggan. Bentuk lahan yang sangat sesuai sebagai habitat kukang jawa adalah aliran lava dan lahar, kerucut gunung api, dan perbukitan denudasional (suatu bentuk lahan yang terjadi akibat proses-proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating), dan proses pengendapan yang terjadi karena agradasi.
Helmi Romdhoni dan kawan-kawan dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Negeri Jakarta, meneliti studi pakan kukang jawa di talun desa Cipaganti, Garut, Jawa Barat . Talun atau hutan kebun memiliki potensi sebagai habitat kukang jawa di luar kawasan yang dilindungi. Salah satu karakter habitat adalah keberadaan pakan dalam habitat.
Dari penelitian yang dilakukan pada Juli hingga September 2016 di kawasan talun Desa Cipaganti, Garut, Jawa Barat itu, ia menyebutkan terdapat tiga jenis pakan utama kukang jawa, yaitu getah (71,27 persen), nektar (16,09 persen), serangga (11,49 serangga), dan bunga (1,15 persen). Terdapat tiga suku tumbuhan yang digunakan kukang jawa sebagai sumber pakan, yaitu Fabaceae, Arecaceae, dan Moraceae.
Dari ketiga jenis pakan tersebut, tiga jenis pakan berasal dari tumbuhan spesifik (getah Acacia decurrens, nektar bunga Calliandra calothyrsus, dan bunga Melaleuca leucadendra), dengan total lima keluarga tumbuhan yang menjadi asal dan digunakan sebagai pakan.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...