Kunjungi RI PM New Zealand akan Bicara Sapi Ketimbang Papua
WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM - Perdana Menteri Selandia Baru (New Zealand), John Key, dalam waktu dekat akan berkunjung ke Jakarta. Ia dijadwalkan akan bertemu dan berbicara dengan Presiden Joko Widodo seusai lawatannya ke sejumlah negara Eropa.
Walau sejumlah kalangan mengharapkan ia mengangkat juga isu Papua dalam pembicaraannya dengan Jokowi, diduga pembicaraannya akan lebih banyak bertumpu pada isu peningkatan hubungan perdagangan, khususnya akses ekspor sapi Selandia Baru ke Indonesia.
Permasalahan daging sapi telah menjadi kronis di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, masalah harga daging sapi yang tinggi jadi persoalan sepanjang tahun. Ada perdebatan tentang data pasok sapi di antara berbagai kementerian. Akibatnya selalu menjadi persoalan tentang seberapa besar kebutuhan sapi di Tanah Air.
Masalahnya, Indonesia sejak era SBY telah melakukan restriksi terhadap pasok sapi dari luar negeri. Ini berdampak pada negara-negara eksportir sapi, termasuk Selandia Baru.
Dalam enam tahun terakhir akses ekspor sapi Selandia Baru ke RI telah menurun drastis. Dalam catatan stuff.co.nz, pada tahun 2010, Indonesia adalah pasar sapi terbesar kedua bagi Selandia Baru, mencapai 48.823 ton atau senilai US$185 juta.
Seiring dengan tekad Indonesia untuk berswasembada, akses ekspor sapi Australia kemudian dipersempit. Akibatnya ekspor sapi Selandia Baru ke Indonesia jatuh menjadi hanya 8.899 ton pada tahun 2015, turun sebanyak 82 persen.
Secara keseluruhan volume perdagangan Indonesia dan Selandia Baru adalah yang terbesar ke-13 bagi Selandia Baru. Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia memperkirakan bila diakumulasi, dampak dari pembatasan ekspor daging Selandia Baru ke RI mencapai antara US$500 jura hingga US$ 1 miliar.
Akses ekspor buah apel dan bawang juga ikut terdampak oleh pembatasan itu.
Chief Executive Horticulture Export Authority Australia, Simon Hegarty, mengatakan, berbagai produk ekspor Selandia Baru telah mengalami pembatasan lewat sistem kuota sejak tahun 2010.
"Berbagai produk masih tetap kita ekspor, tetapi harus melalui berbagai prosedur, membuatnya sulit," kata dia.
Bagi eksportir sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi enam bulan ke depan sehingga membangun hubungan perdagangan yang erat dengan Indonesia merupakan sebuah tantangan.
Indonesia tidak hanya menerapkan pembatasan impor kepada Selandia Baru. Bersama Amerika Serikat, Selandia Baru telah membawa kasus ini ke WTO dan ada 14 negara lain yang ikut.
Indonesia juga telah berkembang menjadi pasar yang penting bagi daging potong, dan jeroan (seperti lidah, hati dan hati), dan juga produk-produk lain seperti kaki sapi.
Namun, pembatasan impor terhadap produk itu telah diberlakukan dalam bentuk kuota, pembatasan produk dan persyaratan perizinan.
Kepala eksekutif Asosiasi Industri Daging Selandia Baru, Tim Ritchie, mengatakan pembatasan dan sistem izin impor yang tidak dapat diprediksi, tidak pasti dan fluktuatif membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menantang bagi Selandia Baru untuk ekspor daging sapi.
"Ini berarti bahwa perusahaan Selandia Baru harus lebih berhati-hati ketika mengekspor ke Indonesia dan cenderung enggan berinvestasi dalam membangun dan mengembangkan pasar karena menghadapi risiko dan ketidakpastian yang signifikan.
"Ini adalah pasar yang penting bagi kami tapisulit untuk membentuk hubungan di sana," kata Ritchie.
Sementara industri susu tidak menghadapi masalah yang sama. Tahun lalu total ekspor susu Selandia Baru mencapai US$ 425M dan terus bertumbuh.
Tahun lalu, perusahaan Selandia Baru Fonterra juga membuka pabrik pengepakan dengan nilai investasi US$ 37 juta, yang merupakan fasilitas namufaktur pertamanya di Indonesia.
Nottage mengatakan kasus sapi adalah yang kedua yang dibawa oleh Selandia Baru ke WTO dalam dekade belakangan. Kasus lainnya adalah tentang akses apel Selandia Baru ke Australia. Dalam kasus itu Selandia Baru menang.
Sebelumnya, Partai Hijau, salah satu partai oposisi di Selandia Baru telah melayangkan protes kepada pemerintah karena dalam kunjungan ke RI agenda utama adalah soal perdagangan. Padahal, partai itu mengharapkan isu pelanggaran HAM di Papua diangkat.
"John Key harus mendesak Presiden Joko Widodo untuk berhenti berbicara tentang pendekatan yang lebih demokratis dan mulai bertindak, dimulai dengan komitmen untuk mengakhiri pelanggaran HAM oleh militer dan polisi, penahanan politik dan pembunuhan direstui negara di Papua Barat," kata anggota parlemen Partai Hijau, Catherine Delahunty dalam siaran pers partai tersebut (5/7)..
Delahunty mengharapkan pembicaraan tentang HAM merupakan salah satu cara untuk menekan Indonesia.
"Jika mitra perdagangan Indonesia, termasuk Selandia Baru, menempatkan perbaikan pada HAM sebagai prasyarat untuk hubungan perdagangan, tekanan pada pemerintah Indonesia akan memaksa mereka untuk bertindak," kata Delahunty.
John Key dijadwalkan meninggalkan Selandia Baru pada 8 Juli. Dalam kunjungan luar negerinya kali ini yang akan berakhir pada 20 Juli, ia akan terbang ke Inggris bertemu dengan PM negara itu, David Cameron.
Editor : Eben E. Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...