Kurangi Ketimpangan Sosial dengan Pendekatan Pragmatis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), sebuah LSM di bawah naungan PBB menerbitkan buku berjudul Ketimpangan Pembangunan Indonesia dari Berbagai Aspek, yang memotret bagaimana kemungkinan kita bisa mengurangi persoalan ketimpangan sosial di negara ini, melalui pendekatan pragmatis.
Gagasan tersebut disampaikan editor dan penulis buku, Yustinus Prastowo dalam acara peluncuran buku bertajuk “Menurunkan Ketimpangan Perlu Menjadi Prioritas Pemerintahan Baru” di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, Kamis (21/8).
Dikatakan Prastowo, bahwa kita dihargai sebagai negara demokrasi, di saat bersamaan kita memiliki masalah dalam ekonomi. Dari sisi ekonomi tersebut, penerimaan pajak selalu tumbuh dua digit setiap tahunnya, tapi di saat yang sama, peningkatan itu tidak diimbangi dengan berkurangnya kesenjangan atau ketimpangan.
“Apakah ini persoalan redistribusi yang tidak merata? Yang jadi persoalan adalah bukan berarti di Indonesia tidak boleh ada orang kaya, tetapi yang dilarang adalah membiarkan orang miskin tetap miskin bahkan semakin miskin, di situlah tugas negara seharusnya,” ungkap analis pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) itu.
Akan tetapi, lanjut Prastowo, pendekatan dalam buku ini agak berbeda, karena tidak ingin masuk terlalu dalam terhadap konteks dan konsep ideologis yaitu memilih negara atau pasar, tapi jelas dari data empiris yang disajikan dalam buku ini terlihat bahwa pasar dan negara sama-sama bermasalah.
Sebagaimana situasi di Indonesia sendiri, ada beberapa sektor yang dipotret dalam buku ini antara lain, pendidikan, kesehatan, pajak, akses perbankan, pertanian, di mana semua itu adalah kisah terombang-ambingnya masyarakat keluar dari mulut pasar, masuk ke rahang negara yang sama-sama lapar akan kekuasaan.
Prastowo kemudian memberikan contoh, tersangka korupsi di KPK diketahui memiliki aset senilai Rp 1 triliun, tetapi setoran pajaknya ke negara hanya Rp 3 juta, bagaimana orang kaya yang kemungkinan berpendidikan tinggi bisa menjadi pelaku ketidakadilan itu sendiri. Tentu ini mengusik rasa keadilan.
“Buku ini menawarkan sebuah pendekatan pragmatis yang tidak mau menggunakan pendekatan negara atau pasar semata. Alih-alih kita ingin menciptakan lembaga-lembaga baru supaya bisa berlaku adil, bukankan kita lebih baik mengupayakan ketidakadilan itu berkurang,” kata Prastowo.
Buku ini juga memotret fakta empirik yang digambarkan melalui grafik-grafik, di mana kita bisa melihat agregat kesejahteraan Indonesia meningkat. Namun ironis apabila kita lihat percepatan peningkatan kelompok miskin itu sangat lambat dibandingkan yang kaya, dan itu menjadi persoalan besar.
“Tidak perlu mengatakan lebih jauh mengenai apa yang harus dilakukan secara konkrit, maka betapa pendekatan kapabilitas dan kompetensi itu bisa menjadi terobosan baru. Di sinilah pentingnya pendekatan pragmatis itu, kita ingin mengintervensi dari hal-hal kecil, dari apa yang bisa kita lakukan untuk saat ini,” urai pengamat perpajakan itu.
Prastowo menutup paparannya dengan mengutip tulisan dari buku Alexis de Tocqueville, Memoir on Pauperism pada sekitar seabad lalu yaitu, “Kondisi setara bisa kita temukan dalam peradaban purba, ketika orang masih bodoh, berburu, tidak ada gagasan tentang perbedaan, di situlah kita menemukan kebersamaan dan kesetaraan. Tapi ketika masyarakat menjadi modern, terjadi aneka ketimpangan, ada orang yang sangat bodoh, ada yang sangat kaya dan sangat miskin.”
Editor : Bayu Probo
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...