Kurangnya Perhatian Isu Perempuan dalam Debat Pilpres
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Para aktivis perempuan Indonesia menyayangkan kurangnya perhatian atas isu perempuan dalam debat pemilihan presiden 2019.
Pertanyaan dalam debat pertama Pilpres 2019 yang berlangsung hari Kamis (17/01) dipersiapkan oleh enam panelis yang terdiri atas Margarito Kamis, Agus Rahardjo, Hikmahanto Juwana, Bagir Manan, Ahmad Taufan Damanik, dan Bivitri Susanti. Nama yang terakhir disebut ini merupakan satu-satunya perempuan dalam tim panelis. Bivitri adalah pakar hukum tata negara yang merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia.
Pegiat antikorupsi sekaligus peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban menilai sangat disayangkan kurangnya perhatian ajang akbar demokrasi ini pada perempuan. Menurutnya banyak figur perempuan yang juga ahli di berbagai bidang, termasuk bidang hukum.
"Sayangnya, karena narasi ini banyak dikuasai panggungnya oleh ahli-ahli yang berjenis kelamin laki-laki, sehingga figur-figur perempuan yang mumpuni itu kembali terpinggirkan,” kata Lalola Easter Kaban, seperti dilansir dw.com, pada Kamis (17/1).
Sementara itu, aktivis perempuan Tunggal Pawestri menyebutkan fenomena ini sebagai ‘penyakit' politik Indonesia, yang tidak merasa penting untuk memperhatikan komposisi gender.
"Jangankan panelis resmi, lihat saja tayangan media untuk isu pemilu ini. Mereka (perempuan) hampir invisible, tidak ada. Artinya isu perempuan memang cuma jadi komoditas politik, tidak tercermin di laku politik kita sehari-hari. Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu ditanyai (dikritisi) seputar hal ini. Banyak perempuan di televisi hanya untuk bersorak-sorai."
Aktivis Misiyah dari Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia BERAGAM menyebutkan, situasi ini menunjukkan absennya perhatian terhadap isu perempuan.
Banyak tema dalam perdebatan, namun sayang tema hak-hak perempuan tidak masuk. Disebutkannya, di Indonesia masih banyak hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan dan minoritas.
"Misalnya seperti UU Perkawinan, Perda diskriminatif, KUHP dan RKUHP yang masih diskriminatif, serta tertundanya pembahasan dan pengesahan RUU perempuan (RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender) yang berdampak pada kehidupan dan penghidupan perempuan dan anak perempuan," kata Misiyah.
Feminis Nadya Karima Melati mengatakan, debat pilpres mencerminkan bagaimana sistem pandangan Pemerintahan Indonesia yang patriarkis dan belum punya prespektif gender baik representasi ataupun isu.
"Ini memperlihatkan kita masih melihat perempuan sekadar objek seks, pemanis saja dalam debat yang serius. Dalam isu gender, perempuan sebagai gender tidak diajak untuk berpikir merumuskan, memasukkan kebutuhannya dalam isu publik seakan-akan komposisi penduduk semuanya lelaki dan mereka yang berpikir dan memimpin negara ini."
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...