Labirin Kekerasan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Kekerasan adalah labirin sejarah negeri ini.” Ungkapan itu muncul dari Garin Nugroho, sineas terkemuka Indonesia, dalam narasi reflektif yang merangkai potongan-potongan filmnya. Dengan gaya artistiknya yang khas, Garin menunjukkan bagaimana kekerasan bertaut erat dengan perjalanan sejarah dan budaya negeri ini. Juga perjalanan hidupnya sendiri.
Bagi Garin, kekerasan itu terasa sangat dekat menyentuh tubuhnya, dan memanggil dirinya sebagai seniman untuk memberi tanggapan yang memadai. Film-film yang dibuatnya selama ini merupakan usahanya untuk menapaki jejak-jejak yang ditinggalkan praktik kekerasan pada hampir semua wilayah di Indonesia, lalu menyajikannya dalam kemasan artistik.
Film Garin itu, yang sepenuhnya terdiri dari kolase potongan film-filmnya, merupakan salah satu sajian menarik selama Pekan “Budaya dan Konflik” yang digelar Goethe Institut seminggu terakhir (29/09 – 06/10) di Jakarta. Terdiri dari berbagai pertunjukan, mulai dari film, diskusi, peluncuran buku, pameran sketsa, panggung boneka, sampai pentas tari, acara yang digelar di Goethehaus Menteng itu menawarkan banyak perspektif untuk memahami dan menyingkap konflik dan kekerasan.
“Kami memang ingin memicu diskusi publik mengenai konflik-konflik dan kekerasan yang terjadi selama ini,” ujar Katrin Sohns, Direktur Regional Program Budaya Goethe Institut, kepada satuharapan.com Jum’at lalu (04/10). “Walau peristiwa 1965 mengambil peran penting, tetapi kami menempatkannya dalam konteks internasional. Karena itu ada film tentang apa yang terjadi di Jerman saat Nazi, maupun pembunuhan di Kamboja saat rezim Khmer Merah.”
“Saya kira dengan melihat peristiwa yang hampir sama juga terjadi di negara lain akan lebih memudahkan kita menghadapi masa lalu dan menanganinya tanpa kehilangan harga diri dan identitas kita,” lanjutnya.
Perspektif internasional inilah yang membuat pekan “Budaya dan Konflik” jadi punya nuansa tersendiri. Para pengunjung yang sebagian besar anak muda, diajak menelusuri dan menyadari bahwa kekerasan dapat terjadi di mana saja dan atas nama apa saja. Juga bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi kadang sungguh tak terbayangkan.
Pemutaran film dokumenter “Jembatan Bacem” produksi ELSAM dan Pakorba Solo tentang para penyintas peristiwa 1965 di Solo, misalnya, mengejutkan banyak orang yang menontonnya. Jembatan yang menghubungkan kota Solo dengan Sukoharjo itu, di mana sungai Bengawan Solo mengalir di bawahnya, pada tahun 1965 sempat menjadi tempat pembunuhan mereka yang dituduh komunis. Lewat serangkaian gambar grafis yang memukau, film itu menunjukkan bagaimana proses pembunuhan berlangsung. Termasuk di dalamnya bagaimana calon korban diikat di sebuah papan lalu ditumpuk begitu saja seperti ikan sarden, sebelum dibawa ke Jembatan Bacem untuk dihabisi.
Sementara itu, film dokumenter S-21: The Khmer Rouge Killing Machine besutan Rithy Panh yang menyabet Prix François Chalais saat Festival Film Cannes 2003, menyajikan dengan rinci proses bagaimana manusia menjadi “mesin pembunuh” saat rezim Pol Pot berkuasa di Kamboja. Dalam tahanan S-21 itu, para tahanan – ini bisa siapa saja yang dicurigai – malah disedot darahnya sampai habis untuk kepentingan rumah sakit.
Bagi Franz Magnis-Suseno, SJ, kekerasan sesungguhnya menjadikan semua orang korbannya. “Kekerasan ala rezim Pol Pot itu irasional dan pada akhirnya hanya akan menghancurkan diri sendiri,” kata Rm. Magnis dalam diskusi setelah film S-21 diputar. “Itu sebabnya kita harus terus menerus mewaspadainya.”
“Kita harus mencurigai setiap teori atau ideologi yang mendaku punya kebenaran mutlak, termasuk pandangan keagamaan,” ujar guru besar STF Driyarkara itu. “Agama yang tidak lagi punya rasa kemanusiaan juga berpotensi menghasilkan kekerasan massal.”
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...