Lampah Budaya “Mubeng Beteng” Tandai 1 Suro
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Ribuan masyarakat Yogyakarta mengikuti lampah budaya “mubeng beteng” (berjalan kaki keliling benteng Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) pada Rabu (14/10) malam. Ritual tahunan ini menjadi penanda bahwa tanggal 1 Suro tahun 1949 Jimawal (bulan pertama pada penanggalan Jawa) atau pergantian tahun dalam penanggalan Jawa telah dimulai.
Prosesi lampah budaya dimulai sejak pukul 21.30 WIB dengan didahului oleh prosesi kenduri, kemudian dilanjutkan dengan doa. Dalam prosesi ini, tembang-tembang mocopat (lagu-lagu Jawa) diperdengarkan, seperti Dandhanggulo, Sinom, dan Kinanthi. Acara seremonial yang dihelat di Bangsal Pancaniti, Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini berakhir pukul 00.00 WIB.
Usai acara seremonial dilanjutkan dengan prosesi “mubeng beteng” atau berjalan mengelilingi benteng. Dalam prosesi ini, kerabat keraton, abdi dalem, dan masyarakat berjalan mengelilingi empat penjuru (pojok) benteng, yaitu Pojok Benteng Kulon (barat), Kidul (selatan), Wetan (timur), dan Lor (utara). Seluruh peserta dalam prosesi “mubeng benteng” ini tidak diperkenankan untuk berbicara atau lazim dikenal dengan ritual “topo bisu”.
“Prosesi ini membutuhkan suasana yang sepi dan hening. Oleh karena itu dilaksanakan pada malam hari,” demikian disampaikan oleh Pengageng Tepas Tandha Yekti Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, KPH. Yudhahadiningrat.
Pria yang akrab disapa Gusti Yudha ini menambahkan bahwa pada mulanya prosesi ini merupakan ekspresi keprihatinan terhadap lingkungan dan keadaan. Selain itu, prosesi ini juga bisa disebut sebagai tirakat karena melakukan upaya untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa untuk memperoleh keselamatan.
Senada dengan pernyataan Gusti Yudho, Pengageng Widyo Budoyo Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, GBPH Prabukusumo dalam kata sambutannya juga meminta kepada para peserta untuk benar-benar meresapi makna laku keprihatinan tersebut. Cara yang dilakukan adalah melakukan introspeksi diri.
“Introspeksi tersebut adalah merenungkan perjalanan dalam satu tahun ke belakang. Saya berharap semua peserta dapat meresapi dalam hati, berdoa, dari berbagai agama dan suku bangsa apapun, karena itulah sisi terpenting dari prosesi ini,” kata pria yang akrabn disapa Gusti Prabu tersebut.
Seperti diketahui, Lampah Budaya “Mubeng Beteng” ini telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional Tak Benda pada 2015. Sehubungan dengan hal tersebut, prosesi yang telah menjadi agenda tahunan ini didukung sepenuhnya oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan tujuan agar bisa terus berkelanjutan.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...