Laporan HRW: Polisi Korup Merusak Pembangunan
MONROVIA, SATUHARAPAN.COM – Apa yang terjadi pada sebuah bangsa jika polisi telah menjadi aktor korupsi? Sebuah laporan menyebutkan bahwa polisi yang korup merupakan faktor utama rusaknya keamanan dan gagalnya pembangunan ekonomi sebuah negara.
Pernyataan di atas menjadi makin nyata dan mudah dipahami ketika membaca laporan Human Right Watch (HRW) tentang korupsi di Liberia. Laporan itu diberi judul yang sangat sinis: “No Money, No Justice.” (Tidak ada uang, tidak ada keadilan.”
Apa yang terjadi di Liberia, nun jauh di Afrika dari Indonesia. Namun dalam beberapa hal kasus-kasus yang terjadi memiliki kemiripan dengan di Indonesia, yang menandai bahwa Indonesia memiliki ancaman yang sama dan kebutuhan untuk memberatas secara segera dan menyeluruh.
Masifnya Pemerasan
Laporan HRW itu menyebutkan, bahwa korupsi oleh polisi telah merajalela di Liberia yang mengakibatkan terhambatnya pembangunan pasca perang yang melanda negara itu. Laporan yang dikeluarkan pekan lalu itu merekomendasikan agar pemerintah memberantas korupsi oleh polisi sebelum rencana penarikan misi PBB di Liberia (UNMIL) mulai tahun ini.
Rekomendasi itu sekaligus sebuah peringatan bahwa negara itu bisa mengalami kekacauan kembali, jika korupsi tidak ditasi secara serius dan segera.
Laporan setebal 64 halaman itu menggambarkan kegiatan kriminal oleh petugas polisi yang korup yang seharusnya memberantas kejahatan. Modusnya antara lain meminta uang pada setiap tahap penyelidikan atau penyidikan, sampai meminta secara paksa (memeras) barang atau uang pada pedagang kaki lima. Tindakan polisis ini telah merusak secara masif kepercayaan pada polisi.
"Polisi seharusnya harus melindungi penduduk, tidak “memangsa” orang yang lemah," kata Corinne Dufka, penelitik senior HRW Afrika Barat. “Liberia selama bertahun-tahun t mengalami banyak kekacauan dan kekerasan. Polisi yang profesional sangat penting untuk menegakkan hak-hak rakyat dan menciptakan masyarakat yang menghormati hak asasi,” kata dia.
Misi PBB di Liberia telah bekerja selama 10 tahun untuk menstabilkan negara itu setelah bertahun-tahun terperosopk dalam perang sipil. Dan recananya misi ini akan teruis dikurangi hingga selesai pada 2015. Namun, penilaian PBB baru-baru ini menyebutkan menemukan perilaku polsisi yang kasar, tidak profesional, dan tidak siap menjadi pelayan tunggal keamanan internal negara itu.
Minta Biaya Penyelidikan
Laporan HRW didasarkan pada wawancara dengan lebih dari 120 orang yang menjadi korban penyalahgunaan wewenang polisi. Mereka mengatakan bahwa polisi biasanya meminta uang pada korban kejahatan untuk membayar mendaftarkan kasus mereka, untuk biaya transportasi ke tempat kejadian perkara (TKP), dan meminta uang untuk keperluan dan barang dalam penyelidikan. Tersangka kriminal adalah sasaran empuk yang secara rutin harus membayar suap, bahkan juga untuk pembebasan dari tahanan polisi.
"Saya tidak mau melapor pada polisi untuk apa pun," kata seorang warga Monrovia kepada HRW. "Mereka selalu meminta dari saya dan saya tidak punya. "
Para pedagang kali lima (PKL), seperti penjual ikan, pakaian, dan perlengkapan mandi, terutama di Monrovia, Ibu kota Liberia, sering digerebeg polisi. Dan polisi secara rutin mencuri barang mereka, menangkap para pedagang, dan kemudian meminta mereka untuk membayar pembebasan mereka dari tahanan.
Para pengendara sepeda motor dan sopir taksi di seluruh negeri menjelaskan tentang pelecehan dan pemerasan yang terjadi di sepanjang jalan. Mereka yang menolak memenuhi tuntutan poplisi akan menghadapi kekerasan dan ditangkap.
Unit elite polisis bersenjata, seperti Satuan Polisi Pendukung, sering disebutkan melakukan pelanggaran kekerasan. Seorang penduduk West Point, bagian dari Monrovia menceritakan bahwa polisi datang ke rumahnya, menendangnya, istrinya ditodong senjata, dan mereka mencuri uang yang disembunyikan dalam bra (kutang).
Ancaman Pembangunan
Korupsi polisi adalah ancaman pembangunan nasional yang ditetapkan Presiden, Ellen Johnson Sirleaf, kata HRW. Ketika mulai menjabat pada 2006, dia mengatakan bahwa korupsi adalah "musuh utama publik." Strategi pengurangan kemiskinan difokuskan pada profesionalisme sektor keamanan dan membangun supremasi hukum.
Kepemimpinan Sirleaf telah membuat beberapa kemajuan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Tapi korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya oleh polisi masih tinggi. Di Liberia korupsi terjadi pada akses untuk memperoleh keadilan, korupsi di sekolah yang dilakukan oleh pelaku untuk memberi makan keluarga mereka, dan membeli rumah. Pemerasan oleh polisi dituding sebagai penyebab kegagalan uaya peningkatan penghasilan masyarakat.
Liberia dilanda perang saudara selama kurun 1989-2003 yang menewaskan lebih dari 200.000 orang dan menelantarkan satu juta penduduknya.
Polisi Frustrasi
Laporan HRW itu menyebutkan anggota polisi juga frustrasi karena kurangnya dukungan untuk pekerjaan mereka. Tim peneliti berbicara kepada 35 polisi dari jajaran berbeda. Mereka menyebutkan tentang gaji yang rendah dan keharusan membayar pada atasan untuk penempatan dan promosi.
"Mereka datang menangis kepada Anda dan Anda bahkan tidak memiliki setetes pun bensin," kata seorang petugas yang menggambarkan sulitnya perjalanan ke TKP untuk menyelidiki laporan kejahatan. Hal itu terjqadi karena koruypsi juga di jajaran polisi.
Lembaga antikorupsi Liberia dinilai lemah dalam memberantas korupsi di jajaran polisi. Komisi Pemberantasan Korupsi Liberia (LACC) sejak berdiri pada 2008 bisa membawa ke pengasdilan mantan Inspektuir Jenderal Polisi, dan perkaranya sekarang di mahkamah Agus di sana.
"Pemerintah Liberia telah melakukan upaya penting dalam beberapa tahun terakhir untuk mempromosikan hak asasi manusia, " kata Dufka. "Namun korupsi polisi yang terus terjadi merusak keamanan nasional dan menggagalkan pembangunan ekonomi." (hrw.org)
Editor : Sabar Subekti
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...