Laporan Jurnalis Asing:Tatapan Hampa Orang-orang Lapar Papua
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wartawan Al Jazeera, Step Vaessen, akhirnya dapat mengunjungi Papua setelah bertahun-tahun pemerintah Indonesia membatasi kunjungan media internasional ke wilayah itu.
Tapi ini bukan kunjungan tamasya. Ia melaporkan kematian bayi akibat campak dan kurang gizi, yang menyeruak mengagetkan banyak orang di tengah kampanye pembangunan infrastruktur yang masif di wilayah paling timur Indonesia itu, setelah diberitakan Kompas pertama kali pada 13 Januari lalu.
Menurut Step Vaessen, yang menulis pada blognya, di situs Al Jazeera, untuk meliput ke Papua pihaknya meminta izin kepada kantor polisi di Jakarta, dan mereka memperoleh izin.
"Kunjungan pertama saya kembali ke Papua setelah media asing dibatasi selama bertahun-tahun. Kami berharap pihak berwenang mengizinkan kami menceritakan kisah ini," ia menulis dalam laporan yang ia beri judul The Hollow Eyes of Hunger Indonesia's Papua.
Berikut ini kami menerjemahkan laporannya tersebut.
Tatapan Hampa Orang-orang Lapar Papua
Di tubuh-tubuh kecil dengan tulang yang hampir menembus kulit mereka, mata bayi-bayi Papua menceritakan kisah mereka.
Diabaikan oleh petugas kesehatan dan pejabat pemerintah, anak-anak ini tidak mendapat imunisasi (Foto: Step Vaessen)
Kami menempuh perjalanan hampir 24 jam untuk sampai pada cerita tentang anak-anak ini yang meninggal karena kekurangan gizi dan wabah campak.
Ini merupakan kunjungan pertama saya kembali ke Papua setelah media asing dibatasi selama bertahun-tahun. Kami berharap pihak berwewenang mengizinkan kami menceritakan kisah ini.
Ribuan anak yang menderita kelaparan dan penyakit cukup penting bagi kami untuk mengambil risiko.
Kami melapor ke kantor polisi di Jakarta dan mendapatkan izin perjalanan.
Papua, yang berada di wilayah timur jauh, telah menjadi wilayah yang sensitif sejak menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1960an setelah apa yang dianggap sebagai referendum yang cacat.
Setelah sekelompok orang Papua dipilih untuk memilih menjadi bagian dari republik ini, banyak yang mulai memperjuangkan kemerdekaan. Pergerakan ini masih aktif sampai sekarang meski pemerintah segera memberikan otonomi luas di Papua pada tahun 2001.
Tapi cerita ini bukan tentang gerakan kemerdekaan.
Cerita ini bercerita tentang bagian negara yang terbengkalai yang hampir tidak disadari oleh sebagian besar di pemerintahan sebagai bagian dari Indonesia.
Diabaikan atau Diusir
Diperkirakan ratusan anak-anak yang meninggal karena kekurangan gizi dan wabah campak merupakan bukti yang menyakitkan atas kelalaian ini.
Diabaikan oleh petugas kesehatan dan pejabat pemerintah, banyak anak tidak diimunisasi atau diberi perawatan kesehatan dasar.
Wartawan Al Jazeera melihat warga Papua memakan mie instan mentah (Foto: Step Vaessen)
Dan ini terjadi di dekat tambang emas terbesar di dunia yang dioperasikan oleh perusahaan Freeport, pembayar pajak terbesar di Indonesia.
Suku Asmat paling terpukul. Permukiman suku di bagian selatan Papua jauh dari kota terdekat dan banyak orang Asmat terpaksa mengubur anak-anak mereka tanpa menemui dokter.
Mereka yang memiliki perahu mendayung ke pos kesehatan terdekat, namun diusir oleh petugas kesehatan yang tampaknya kurang memiliki komitmen dan keterampilan untuk membantu.
Kami melakukan perjalanan ke Asatat, sebuah pemukiman sekitar tiga jam dengan speedboat dari kota terdekat Agats. Selama empat bulan terakhir, setidaknya 29 anak meninggal di sana.
Aloysius Beorme kehilangan anak laki-lakinya yang berumur satu tahun karena tidak punya uang untuk menyewa kapal.
Ketika akhirnya berhasil mendayung perahu berjam-jam ke klinik, anaknya meninggal tak lama setelah tiba.
"Kami ingin dokter datang ke sini dan kami ingin pemerintah di Jakarta mengirim mereka karena pemerintah provinsi tidak pernah mengunjungi kami," kata Beorme kepada kami.
Kehilangan Tradisi
Karena Papua telah diberi otonomi luas, daerah tersebut telah digelontori uang, namun sebagian besar diduga telah hilang ke dalam kantong pemimpin lokal dan pejabat pemerintah.
Upaya untuk membawa kemajuan ekonomi ke kawasan ini terutama menguntungkan pendatang baru dari daerah lain di Indonesia yang memulai usaha kecil mereka, menjual makanan instan yang sekarang membunuh anak-anak Papua.
Asmat secara tradisional hidup dari pohon sagu. Sebelum makanan instan memasuki desa mereka suku semi-nomaden akan menghabiskan waktu berbulan-bulan di hutan untuk membuat sagu dan menemukan cukup makanan untuk hidup.
Tapi mie instan dan minuman berenergi telah menjadi alternatif yang jauh lebih sedikit memakan waktu bagi Asmat yang tidak tahu banyak tentang nutrisi. Di Asatat, kami melihat anak-anak makan mie mentah dan bayi minum kopi instan.
Suku Asmat menghadapi krisis identitas yang serius yang sejauh ini dibiarkan selesai dengan sendirinya.
Sebuah proposal oleh Presiden Indonesia Joko Widodo untuk memindahkan 100.000 orang Asmat yang tinggal di daerah tersebut ke sebuah kota dekat layanan medis segera ditolak.
Banyak yang percaya ini bisa menjadi akhir dari Asmat, yang tidak dapat bertahan hidup mengandalkan hutan dan menghadapi persaingan dari pendatang baru.
Apa yang dibutuhkan Asmat adalah untuk dapat memperkuat tradisi mereka yang telah memberi manfaat selama berabad-abad dan mendapatkan perawatan nyata dari pemerintah untuk mencegah agar tragedi ini tidak terjadi lagi.
Ini adalah kesempatan baik bagi pemerintah Joko Widodo untuk membuktikan kepada orang-orang Papua bahwa mereka adalah milik Indonesia.
Tentang Step Vaessen
Step Vaessen (Foto: Al Jazeera)
Siapa Step Vaessen? Al Jazeera pada situs resminya memperkenalkannya sebagai wartawan Al Jazeera yang berbasis di Jakarta. Ia telah melakukan reportase di Asia selama lebih dari 20 tahun dan merupakan salah satu jurnalis internasional paling senior yang meliput wilayah ini.
Setelah bekerja di Asia Tenggara untuk NOS-TV dari Belanda, dia bergabung dengan Al Jazeera pada tahun 2006. Dia menyaksikan secara langsung sebagian besar berita utama di Asia: jatuhnya Presiden Soeharto pada tahun 1998, referendum kemerdekaan di Timor Timur (kini Timor Leste), tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004, krisis Rohingya di Myanmar, demonstrasi menentang Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan bencana alam besar di Indonesia, Pakistan, Filipina dan berbagai konflik agama dan etnis. Dia meliput berita di China, Thailand, Malaysia, Kamboja, Laos, Vietnam, Jepang dan Korea Selatan.
Vaessen juga membuat beberapa film dokumenter untuk 101 East, di antaranya, Trail of Murder, tragedi berdarah di Timor Timur yang dinominasikan sebagai Dokumenter Terbaik di Asia TV Awards di Singapura. Sebuah buku karyanya telah terbit, Jihad with Sambal, dan ia memenangkan Academy Award pada tahun 2005 untuk laporannya mengenai tsunami Samudra Hindia.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...