Media Internasional Mulai Soroti Kematian Bayi di Papua
CANBERRA, SATUHARAPAN.COM - Kematian bayi di Papua akibat wabah campak dan gizi buruk mulai mendapat sorotan media internasional, setelah pertama kali diangkat oleh harian Kompas pada 13 Januari lalu.
Umumnya mereka menyoroti lambatnya respons, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah setempat. Selain itu, beratnya medan Papua serta restriksi terhadap akses lembaga bantuan internasional dan media, ikut menjadi faktor yang dibahas.
Media-media internasional itu juga selalu menempatkan bencana ini pada konteks Papua yang unik. Papua dipandang sebagai provinsi yang berintegrasi ke Indonesia belakangan dan diwarnai oleh adanya gerakan menuntut penentuan nasib sendiri.
Pada judul, media-media tersebut umumnya menonjolkan jumlah korban tewas yang mengejutkan. ABC News, media arus utama Australia menulis berita tentang malapetaka ini dengan judul, "Campak, Kekurangan Gizi, Membunuh hampir 100 Orang di Papua." Sedangkan The Australian, memberi judul "Wabah Campak yang Menyebabkan Malapetaka di Indonesia dengan Perkiraan 100 Orang Dikhawatirkan Tewas." Lalu, Al Jazeera menurunkan berita dengan judul "Wabah Campak Menewaskan 69 Orang yang Kekurangan Gizi."
Sejumlah media internasional lain juga mengangkat isu serupa. RNZ, sebuah media berbasis di Selandia Baru yang selama ini cukup kritis terhadap pemerintah RI dalam hal isu Papua, menurunkan berita dengan judul "100 Orang Dikhawatirkan Tewas Akibat Wabah Campak di Papua." Sementara New Straits Times dari Singapura, menulis dengan judul "100 di Papua, Indonesia, Dikhawatirkan Meninggal karena Kekurangan Gizi (dan) Campak."
Media-media bukan arus utama, seperti The Cake, sebuah portal berita berbasis di New Delhi, tidak ketinggalan mengangkat berita ini. "Wabah Campak menyebabkan Bencana di Indonesia dengan 100 Orang dikhawatirkan Meninggal," begitu judulnya. Version Weekly, portal berita berbasis di Utrecht, Belanda, menulis dengan judul "Indonesia: Puluhan Anak-anak Meninggal karena Campak dan Cacar Air." Adapun International Business Times, media yang berkantor pusat di New York, menulis dengan judul "69 Bayi Meninggal setelah Wabah Campak di Papua, Indonesia."
Tidak seragamnya jumlah korban mencerminkan tidak adanya sumber tunggal bagi media itu untuk mendapatkan data akurat. Namun lebih jauh, itu juga merupakan gambaran bahwa pihak-pihak yang berkepentingan belum sepenuhnya mengetahui dan menguasai persoalan, baik skala maupun kedalamannya.
ABC News membuat angka perkiraan konservatif dengan mengatakan setidaknya 95 orang meninggal, yang sebagian besar adalah anak-anak Orang Asli Papua (OAP). Media tersebut juga mengutip pernyataan salah seorang pejabat TNI di Jayapura, Boni Christian Pardede, yang mengatakan bahwa situasi menyedihkan ini, khususnya di pegunungan Okbab, pertama kali dilaporkan oleh aktivis gereja. Mulanya mereka mengatakan bahwa 23 anak-anak dan empat orang orang dewasa telah meninggal dunia. Namun, Pardede mengatakan, laporan terbaru dari tim kesehatan yang tiba di sana mengatakan korban tewas mencapai 25 orang.
The Australian mengutip pernyataan Hendrikus Hada, seorang pendeta di Asmat, yang mengatakan bahwa wabah tersebut sebetulnya sudah dideteksi pada bulan September. Namun hanya para aktivis gereja yang mengunjungi wilayah tersebut pada perayaan Natal lalu. Ketika itulah mereka menyadari skala wabah yang merebak.
"Para bupati memerintahkan pegawainya mencari bayi yang kurang gizi dan penderita campak tetapi masalahnya adalah anggaran. Perlu 10 juta rupiah untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) dan menyewa kapal untuk mencapai desa-desa di Asmat dan tidak tersedia banyak kapal sehingga evakuasi sangat lambat," kata Hada.
"Seharusnya ada 19 puskesmas di kecamatan-kecamatan tetapi sebagian besar tidak pernah dikunjungi oleh pekerja kesehatan bertahun-tahun," kata dia.
Gereja Katolik Jadi Rumah Sakit
Al Jazeera mengutus reporternya, Step Vaesse ke Asatat, meliput langsung bencana ini. Menurut laporan Vaesse, polisi dan tentara memberikan bantuan kepada pekerja kesehatan yang didatangkan dari Jakarta. Ia juga mengunjungi desa Agats, dimana gereja telah berubah menjadi rumah sakit darurat karena tempat pengobatan lainnya telah penuh oleh pasien.
"Kami mendapatkan pemandangan menyedihkan di desa Asatat, dimana banyak anak-anak meninggal, ini merupakan salah satu desa paling sulit dijangkau," kata dia.
Ia menambahkan, tidak ada diantara anak-anak itu yang mendapat vaksinasi memadai. "Mereka meminta pertolongan pemerintah, khususnya pemerintah pusat, untuk membantu mereka karena mereka tidak percaya pada pemerintah setempat," demikian wartawan Al Jazeera.
Di tengah lemahnya bantuan pemerintah, lanjut dia, pekerja dari Gereja Katolik memberikan bantuan makanan kepada anak-anak dan memberikan saran kesehatan kepada ibu-ibu, yang tampaknya juga kekurangan gizi.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menyebut, tim pemerintah berusaha keras menangani masalah ini.
"Tim kita sedang turun, lagi memastikan sebabnya apa, gimana kondisi riilnya disana," kata Oscar kepada BBC Indonesia, Senin (22/01).
Panglima TNI diberitakan mengirimkan satgas kesehatan beranggotakan 160 orang ke Papua. Panglima TNI bahkan mengatakan akan menyusul tim itu ke Papua. Sementara Menteri Kesehatan, Nila DF Moeloek juga langsung terbang ke Papua dan mengunjungi RSUD Agats hari ini (25/01).
Komandan Satgas Kesehatan TNI KLB Asmat, Brigjen TNI Asep Setia Gunawan mengatakan, 8 tim satgas terpadu sudah melakukan pemeriksaan di 117 kampung dari 19 distrik di Kabupaten Asmat, sejak pekan lalu. Dari 117 kampung, sebanyak 12.398 anak diperiksa.
“Dari 12.398 anak, ditemukan 646 anak terkena wabah campak dan 144 anak menderita gizi buruk. Selain itu ditemukan 25 anak suspect campak dan 4 anak yang terkena campak dan gizi buruk,” kata Asep dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/1/2018), dikutip dari Kompas.
Lebih Berharga Kekayaan Alam Daripada Manusia
The Jakarta Post, dalam editorialnya yang tampaknya banyak menginspirasi media internasional dalam meliput bencana ini dengan pedas mengeritik lambatnya respons pemerintah. Lewat tulisan dengan judul The Death of Papuans yang dilengkapi foto bayi-bayi yang tengah antre di sebuah rumah sakit, The Jakarta Post menyindir respons Jakarta yang menyalahkan pemerintah daerah dan menyebutnya sebagai "blame game."
The Jakarta Post juga mempertanyakan fakta bahwa pemerintah sudah mendeteksi adanya wabah tersebut pada bulan September, namun perlu empat bulan kemudian baru ada aksi yang diambil.
"Mempertimbangkan adanya empat bulan sejak adanya peringatan akan krisis kesehatan pertama kali dikemukakan, mungkin pertanyaan nyata adalah ini: Siapa sesungguhnya yang peduli? Bukankah wabah yang skalanya lebih kecil dari ini akan menyebabkan keributan yang jauh lebih besar di kalangan netizen jika terjadi, katakanlah, di Jawa atau Sumatra?," demikian The Jakarta Post.
The Jakarta Post juga menyindir sikap kebanyakan orang Indonesia yang lebih cepat bereaksi bila mendengar berita ada orang Papua yang menaikkan bendera Bintang Kejora, bukan oleh kondisi menyakitkan seperti yang terjadi saat ini.
"Sedikit yang mempertanyakan penangkapan, penyiksaan dan penembakan terhadap pemrotes Papua, tanpa mempertanyakan mengapa ada orang di provinsi miskin yang menuntut kemerdekaan. Sebagaimana kritik di antara orang Papua yang berulang kali dikatakan, kebanyakan orang Indonesia lebih memperhatikan tanah (Papua) yang kaya daripada saudara-saudari Melanesia mereka yang tinggal sangat jauh dari ibu kota dan daerah lainnya yang lebih maju."
LSM dan Media Internasional Dihambat
Aktivis Human Right Watch, yang diwawancarai oleh The Australian, Andreas Harsono, mengatakan wabah mematikan seperti sangat sering terjadi di Papua. Dan hal itu terus berulang.
"Ini terjadi lagi dan terjadi lagi, setiap tahun ada wabah seperti ini dan setiap kali pula ada simpati yang melimpah, tetapi kemudian tidak ada perubahan," kata dia, sebagaimana dikutip oleh The Australian.
Peneliti sosial, Victoria Fanggidae, dikutip oleh The Australian, mengatakan bahkan dibandingkan dengan provinsi seperti Kalimantan dan Nusa Tenggara, dimana kasus kekurangan gizi cukup tinggi, kematian karena wabah dan kurang gizi di Papua lebih tinggi.
Penyebabnya adalah medan yang berat, juga cara hidup masyarakat Asmat yang semi berpindah-pindah membuat sulit bagi pekerja kesehatan mencapainya. Juga tingkat vaksinasi di Asmat hanya 17,3 persen tahun lalu.
Berbagai upaya, menurut dia, telah dilakukan pemerintah. Tetapi tenaga yang tersedia sangat kurang.
Namun, Andreas Harsono melihat ada hambatan utama lainnya. Ia menyebut restriksi akses bagi lembaga bantuan internasional dan media untuk masuk ke Papua. Mereka membutuhkan proses izin berbulan-bulan untuk bisa masuk ke Papua.
Menurut Andreas, perihal parahnya kondisi kesehatan di Papua, sudah diketahui cukup luas. Pelapor Khusus PBB tentang Hak Atas Kesehatan, Dainius Puras mengatakan hal itu. Saat ke berkunjung ke Papua April tahun lalu, Puras mengatakan ia sangat prihatin tentang kondisi kesehatan etnis Papua, yang dua kali berisiko terjangkit HIV/AIDS dibandingkan penduduk lainnya. Pada saat yang sama infeksi baru terus bertambah.
Oleh karena itu, kata Andreas, Puras saat itu meminta pemerintah memberikan perhatian dan sumberdaya untuk meningkatkan layanan kesehatan di Papua. "Bencana kesehatan di Asmat mengindikasikan bahwa permintaan itu tidak didengarkan," kata Andreas kepada satuharapan.com.
Ironisnya,lanjut Andreas, di tengah menyoloknya defisiensi pelayanan kesehatan di Papua, Pemerintah Indonesia melakukan restriksi terhadap akses LSM internasional ke Papua, termasuk yang menyediakan layanan kesehatan yang lain dibutuhkan.
"Pada bulan Agustus 2010, pemerintah melarang lembaga bantuan internasional dari Belanda, Cordaid. Pemerintah menilai organisasi itu telah membantu aktivis Papua Merdeka, tuduhan yang telah dibantah oleh Cordaid," kata Andreas Harsono.
Kegagalan Otsus
Mengutip buku Memutus Mata Rantai Kematian di Tanah Papua yang ditulis oleh Aloysius Giyai, seorang direktur rumah sakit di Papua, Andreas mengatakan otonomi khusus untuk Papua yang dimulai pada 2001, telah gagal menyediakan sistem layanan kesehatan yang memadai di Papua.
"Papua masih berjuang dengan sedikitnya tenaga kesehatan dan layanan kesehatan yang dibawah standar. Menurut Giay, faktor-faktor non medis memainkan peranan yang lebih besar, yakni tatakelola pemerintahan yang buruk, berbagai restriksi, impunitas dan rendahnya kepercayaan masyarakat (kepada pemerintah)."
Dr Tigor Silaban, seorang dokter yang selama puluhan tahun mengabdikan diri di Papua dan sampai sekarang masih di sana, berpendapat bahwa upaya Presiden Joko Widodo memberi bantuan langsung, termasuk tenaga ke Papua menangani kasus ini adalah baik. Tetapi hal ini baru sebatas upaya 'memadamkan kebakaran.'
"Bagaimana untuk kelanjutannya, sebab jika tidak, pasti akan terulang lagi di kemudian hari," kata dia dalam sebuah grup WA, yang diperoleh satuharapan.com dari seseorang yang membagikannya setelah mendapat izin dari yang bersangkutan.
Oleh karena itu dia menyarankan agar Kemendagri melakukan upaya membedah APBD dan APBN untuk melihat bagaimana peruntukan dana yang ada. "Berapa persen untuk kesehatan, sosial, KPAD dll...... dari dana Otsus Papua saja 80 persen dana turun ke kab/kota, di provinsi hanya tinggal 20 persen saja," kata dia.
"Yang terpenting lihat pemanfaatan dananya, dugaan saya, banyak dana-dana yang digunakan salah dan menyimpang. Dulu-dulu waktu Asmat masih merupakan kecamatan di bawah Merauke dengan dana yang minim tidak seburuk ini, kenapa sekarang dengan dana melimpah justru terjadi hal seperti ini."
"Kami para 'ulama kesehatan' yang bekerja di puskemas di masa-masa Inpres dulu, merasa gemas sekali, melihat keadaan Papua sekarang ini. Lihat tenaga saja sudah gemas bukan main, tenaga itu sebenarnya sudah banyak sekali, tapi sebagian besar bercokol di ibukota kabupaten dan kecamatan besar saja....tidak perlu terlalu banyak orang/tenaga di provinsi, yang harus banyak adalah tenaga di dinkes kab/kota dan puskesmas, terutama di puskesmas."
Aktivis Hak Asasi Manusia dan Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, berpendapat Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk ini menjadi "peringatan dini" bagi Pemerintah Daerah di Tanah Papua dan Papua Barat untuk segera mendorong dilaksanakannya evaluasi total terhadap implementasi kebijakan otonomi khusus (otsus).
"Evaluasi penting untuk melihat dan menjawab pertanyaan kenapa sepanjang 10 tahun terakhir ini, seringkali terjadi KLB seperti campak dan gizi buruk pada beberapa daerah di dataran dan kawasan pegunungan maupun pesisir di Tanah Papua." kata dia. Padahal, kata Yan Christian, persepsi yang muncul di kalangan pemerintah dan masyarakat di luar Papua, dana sangat besar digelontorkan ke Papua dalam jumlah besar.
Lebih jauh, ia mengatakan LP3BH mendorong lembaga hak asasi manusia seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui perwakilan Provinsi Papua untuk segera melakukan investigasi guna menentukan ada tidaknya unsur-unsur pelanggaran HAM yang Berat dalam kasus KLB Asmat.
LP3BH juga mendesak organisasi internasional seperti World Health Organization (WHO) yang berada di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa dan Dewan HAM PBB untuk terlibat dalam melakukan aksi segera terhadap kasus KLB di Kabupaten Asmat. Pihaknya mendesak Pelapor Khusus untuk memasukkan kasus KLB di Kabupaten Asmat ini sebagai masalah serius dalam konteks dugaan pelanggaran HAM yang Berat untuk dapat ditindak-lanjuti menurut mekanisme hukum internasional.
"Kasus sudah berlangsung 4 (empat) bulan dan Pemerintah baik pusat dan daerah sama sekali bergeming. Nanti setelah media massa mengangkatnya, barulah mereka sibuk sana-sini seakan-akan mereka sudah melakukan sesuatu tindakan medis," lanjut Yan.
"Kami LP3BH menilai ini sebuah bagian dari tindakan kejahatan genosida. Oleh sebab itu, kami memandang bahwa PBB dapat segera mengirim kembali Pelapor Khusus bidang kesehatan ke Tanah Papua, khususnya ke Asmat untuk meminta keterangan langsung dari rakyat asli Papua mengenai bagaimana mereka dapat memperoleh akses layanan kesehatan yang memenuhi standar hukum kesehatan di dunia. Kehadiran Pelapor Khusus PBB bidang kesehatan sangat mendesak dan penting saat ini," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...