Larangan Jual Bir di Indonesia Ramai Diberitakan Media Asing
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Larangan penjualan bir oleh pemerintah Indonesia di minimarket dengan alasan untuk melindungi moral dan budaya masyarakat Indonesia, ramai diberitakan oleh media luar negeri. Tidak kurang dari The Financial Times dan The Wall Street Journal, telah menurunkan laporanya perihal ini. Dan yang terbaru adalah The Economist, salah satu majalah tertua di dunia yang berbasis di London.
"Bagi penduduk Indonesia ataupun para wisatawan yang hendak bermalas-malasan di pantai Bali, minuman beralkohol akan sulit didapatkan. Bulan ini, Indonesia akan melarang penjualan bir dan minuman lainnya dengan kadar alkohol kurang dari 5% di lebih dari sepuluh ribu pedagang kecil. Tujuannya, untuk melindungi moral dan budaya masyarakat Indonesia," demikian The Economist membuka laporannya.
The Economist menilai,pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah berani ini tanpa melakukan perundingan dengan para pelaku pasar di Indonesia, termasuk perusahaan Birtain’s Diageo, Carlsberg of Denmark, dan Heineken, perusahaan bir asal Belanda.
Meskipun minuman ini dilarang, pada praktiknya, sejumlah pemerintah daerah telah memberikan kelonggaran dalam penjualan minuman beralkohol tersebut. Akan tetapi, pelarangan penjualan bir di toko-toko sudah berjalan di beberapa daerah di Indonesia dengan mengadopsi hukum syariah Islam.
Peraturan baru ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pedagang. Mereka cemas bahwa hal tersebut dapat memengaruhi penjualan dalam jumlah besar (grosir) sehingga mengganggu rantai distribusi minuman di negara ini. Peraturan ini juga diduga akan memperburuk sektor pariwisata. Sementara itu, beberapa pihak juga mengatakan bahwa langkah ini dapat memicu bootlegging (penyelundupan) semakin parah.
Saat ini pihak pedagang sedang menekan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali peraturan larangan penjualan minum beralkohol dan mengusulkan agar pemerintah melakukan dialog selama periode satu tahun ini.
Sebelumnya, Bloomberg, mengutip pendapat Muhammad Ali, profesor studi Islam di University of California mengaitkan munculnya larangan menjual bir di minimarket tersebut dengan semakin nyaringnya suara kalangan konservatif yang memberi kesempatan kepada para politisi populis Islam maupun politisi sekular memperalatnya untuk meningkatkan legitimasi.
"(Kebijakan) ini adalah penerapan hukum Syariah secara perlahan tetapi stabil, dengan menggunakan cara-cara legal dan konstitusional," kata Muhammad Ali, sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, dalam laporan berjudul Beer Today, Gone Tomorrow, Muslim Indonesia Curbs Ale Sales , (27/3).
Bloomberg mencatat sejak tahun 1990-an, sejumlah pemerintah daerah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang bernuansa Syariah yang sasarannya adalah minuman beralkohol disamping peraturan tentang cara berpakaian yang sesuai dengan nilai dan ajaran Islam.
Menurut Michal Buehler, pengajar studi Perbandingan Politik di School of Oriental and African Studies University of London, implementasi regulasi yang melarang penjualan bir di minimarket tersebut lebih merupakan peraturan tambal sulam dan diselubungi oleh praktik berbau suap.
"Ini murni politik simbol," kata dia. "Apa yang Anda lihat sedang terjadi adalah adanya kelompok yang senang main hakim sendiri sedang memperalat hukum untuk mengumpulkan kekuasaan agar terpusat di tangan mereka dan menghancurkan berbagai tempat. Itu yang membuat masalahnya jadi problematis," tutur dia. Buehler tidak menyebut nama kelompok dimaksud. (the economist/bloomberg)
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...