LBH: Vonis Ahok Merusak Dunia Peradilan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menilai vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Basuki Tjahaja Purnama merusak dunia peradilan yang seharusnya menjadi tempat bagi masyarakat mencari keadilan.
LBH juga menilai vonis tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yakni kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh konstitusi, UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum serta Kovenan Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan UU No. 12/2005.
Dalam siaran persnya hari ini (10/05), LBH menyoroti dengan kritis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menjatuhkan vonis dua tahun kepada Ahok yang dalam persidangan sebelumnya dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP dengan tuntutan penjara selama 1 tahun dan masa percobaan 2 tahun. Vonis yang dijatuhkan ini, menurut LBH, menjadi pertanda mundurnya demokrasi dan negara hukum (rule of law) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
LBH menilai pasal 156a merupakan ketentuan anti demokrasi. Pasal itu secara jelas melanggar hak seseorang untuk menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nurani, serta hak atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan berbagai aturan hukum lainnya.
"Pasal 156a selama ini terbukti menjadi alasan pembenar negara dan pihak mayoritas yang intoleran untuk mengkriminalisasi kelompok minoritas atau individu yang berbeda keyakinan dengan warga negara mayoritas sebagaimana yang menimpa Lia Eden, Abdul Rahman, Ahmad Musadeq, dkk. (Eks Pimpinan Gafatar), Hans Bague Jassin, Arswendo Atmowiloto, Saleh, Ardi Husein, Sumardin Tapaya (sholat bersiul), Yusman Roy (sholat mullti bahasa), Mangapin Sibuea (pimpinan sekte kiamat)," demikian siaran pers LBH.
Selain itu, LBH berpandangan rumusan Pasal 156a KUHP tidak jelas, tidak memenuhi prinsip lex certa dan lex scripta dalam pemenuhan asas legalitas, serta terlampau subjektif untuk diterapkan kepada masyarakat. Rumusan pasal 156a dinilai bertentangan dengan prinsip kepastian hukum sehingga juga mengancam prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi penegakan hukum yang berkeadilan (rule of law) bagi masyarakat.
"Saat ini Ahok, di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim, menjadi korban. Hari ke depan bisa jadi yang menjadi korban kriminalisasi adalah individu muslim di tengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu atau Budha atau Kristen," kata LBH.
LBH juga menilai majelis hakim terlalu mengada-ada dengan menimpakan kepada Ahok unsur menciderai umat Islam, menimbulkan kegaduhan serta memecah kerukunan di masyarakat. Padahal bukan Ahok yang melakukan hal itu, justru disebarkan oleh kelompok-kelompok intoleran yang melaporkan Ahok dan mendorong Ahok masuk ke meja hijau.
"Majelis Hakim membebankan segala bentuk kegaduhan dan gerakan massa yang menimbulkan keresahan di publik selama ini kepada Ahok seorang dan menghukumnya untuk itu. Putusan Majelis Hakim pada perkara ini justru memicu masyarakat untuk semakin giat menggunakan pasal penodaan agama yang anti demokrasi ini di kemudian hari," demikian LBH.
"Dengan menghukum Ahok, dunia peradilan kembali mengulangi kegagalannya menjadi tempat bagi masyarakat mencari keadilan yang sesungguhnya. Peradilan kembali tunduk kepada tekanan publik. Hal ini adalah preseden buruk penegakan hukum di Indonesia, seseorang bisa dihukum atas dasar tekanan publik padahal seharusnya pengadilan menjadi pihak yang independen dan hanya setia kepada nilai keadilan dan rule of law dan konstitusi. Rule of law dikorbankan serta digantikan dengan rule by mass (mobokrasi) sementara proses hukum serta fakta-fakta persidangan diabaikan."
Meskipun demikian, LBH upaya hukum banding dapat menjadi langkah berikutnya yang ditempuh untuk mencari keadilan yang hakiki.
"Semoga pengadilan tingkat banding dan kasasi yang berada di bawah Mahkamah Agung masih bisa dijadikan rumah bagi hukum yang berkeadilan dimana masyarakat dapat menaruh harapannya akan keadilan, dan memutus rantai peradilan sesat hari ini."
LBH mendesak agar pemerintah dan pengadilan secara tegas menegakkan hukum sesuai dengan prinsip kepastian hukum, demokrasi, keadilan, serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
LBH juga mendesak pemerintah dan DPR untuk meninjau ulang perumusan delik penodaan agama yang saat ini sedang berlangsung dalam pembahasan RUU KUHP di DPR RI dan menghapuskan pasal anti demokrasi tersebut demi menghormati prinsip demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia serta kepastian hukum di Indonesia.
LBH juga mengajak masyarakat untuk menghargai perbedaan dan kebebasan berpendapat juga berekspresi.
"Jika hal ini tidak kita jaga bersama maka siapa pun dan siapa saja bisa dipenjarakan semata karena berbeda pendapat atau ekspresinya dianggap melukai perasaa orang lain, sesuatu yang sulit diukur secara objektif."
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...