Lee Kuan Yew Pernah Berpesan tentang Kematiannya
SINGAPURA, SATUHARAPAN.COM – Dalam buku biografinya yang dipublikasikan pada 6 Agustus 2013, sebulan menjelang ia berusia sembilan puluh tahun, Mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, menggambarkan bagaimana kematian yang ia inginkan terjadi pada dirinya.
“Akan ada akhir bagi segala sesuatu dan saya ingin hal itu datang secepat mungkin dan tanpa rasa sakit, tidak dalam ketidakmampuan saya, tidak setengah koma di tempat tidur dengan selang ke pembulu dan masuk ke perut saya," tulis Lee Kuan Yew dalam buku setebal 400 halaman berjudul One Man's View of the World, sebagaimana dilaporkan oleh AFP.
Bagi sementara kalangan, perkataan Lee, bapak pendiri Singapura itu, kini bergaung kembali manakala dirinya terbaring tak berdaya di rumah sakit, setelah dirawat sejak 5 Februari lalu dan pemerintah menyatakan dirinya sedang berada dalam kondisi kritis.CNN sempat memberitakan dirinya telah meninggal lewat akun twitter yang kemudian dibantah.
Dalam buku tersebut, Lee juga membeberkan bahwa ia pernah menandatangani Advanced Medica Directive (AMD), yaitu sebuah dokumen yang menginformasikan para dokter agar tidak menggunakan alat bantu apa pun untuk memperpanjang hidupnya, manakala ia mengalami sakit kritis sehingga tak sadarkan diri dan hanya bisa bertahan hidup lebih lama dengan batuan peralatan.
Lee mengaku semakin lama semakin lemah dan berharap segera meninggal dunia. Istrinya, Kwa Geok Choo, meninggal dunia tahun 2010 dan itu cukup membuatnya terpukul. Penglihatan Lee melemah sejak ia sendiri. Dan kendati hidupnya ia jalani dengan disiplin seperti manakala ia masih aktif sebagai Perdana Menteri, penurunan kondisi fisik tak dapat ia hindari.
"Setiap hari berlalu, fisik saya semakin tidak energik dan kurang aktif,” kata dia.
Di masa mudanya, Lee adalah pengacara yang dididik dalam sistem pendidikan Inggris. Ia dikenal sebagai Bapak Bangsa Singapura, dan menjadi perdana menteri selama tiga dekade. Tidak ada satu orang pun yang mengenal sejarah Singapura membantah bahwa ia merupakan tokoh sentral di balik keberhasilan Singapura berubah dari desa nelayan menjadi pusat keuangan dan industri berteknologi tinggi.
Ia tidak hanya berhasil mendisiplinkan dirinya sendiri, tetapi juga mendisiplinkan rakyat Singapura, antara lain dengan menerapkan denda dalam menegakkan hidup tertib secara publik. Singapura bahkan sering dijuluki sebagai negara denda, karena dimana-mana terdapat larangan untuk tidak membuang sampah, bahkan larangan mengunyah permen di fasilitas transportasi umum.
Pada tahun 2011 Lee pensiun dari dunia politik. Pensiun di sini dapat diartikan sebagai benar-benar tidak aktif lagi. Sebab secara resmi, Lee sudah tidak menjabat sebagai Perdana Menteri sejak tahun 1990 setelah 31 tahun berkuasa. Namun berhenti sebagai PM, tak berarti ia istirahat, karena ia masih aktif di kabinet sebagai Menteri Senior lalu kemudian sebagai Menteri Penasihat.
Di masa pensiunnya, ia menyoroti perubahan gaya hidup warga Singapura. Ia antara lain prihatin dengan merosotnya populasi, padahal pemerintah sudah memberi insentif moneter untuk mendorong meningkatnya jumlah penduduk. Tapi ia melihat insentif itu hanya memberi dampak yang kecil.
Tingkat kelahiran di Singapura yang rendah membuat Singapura terbuka bagi imigran yang kini mencapai sepertiga dari populasi negara pulau itu. Kebijakan ini dikritik oleh warga setempat dan Singapura kini memperketat lagi arus imigran ke negara itu.
"Saya memberikan pekerjaan kepada generasi pemimpin berikutnya. Harapannya, mereka atau penggantinya bisa menemukan jalan keluar," tulis Lee. Penggantinya yang sebelumnya adalah deputinya, Goh Chok Tong menjadi perdana menteri pada tahun 1990 dan menjabat 14 tahun. Putra Lee, yaitu Lee Hsien Loon, menjadi perdana menteri menggantikan Goh tahun 2004.(AFP)
Editor : Eben Ezer Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...