Legislator: UU Perlindungan Anak Harus Berunsur Preventif
BANDUNG, SATUHARAPAN.COM - Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ledia Hanifa Amaliah, menyatakan revisi UU Perlindungan Anak Tahun 2002 harus memasukkan unsur preventif untuk menjamin optimalisasi perlindungan terhadap anak.
"Kita berharap revisi atas undang-undang ini akan membawa kondisi anak Indonesia menjadi lebih baik dengan adanya jaminan hukum yang benar-benar melindungi anak sekaligus memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak secara utuh," kata Ledia, Selasa (10/6).
Anggota DPR dari Fraksi PKS itu mengungkapkan, Undang-Undang Perlindungan Anak yang sudah ada memang dirasa masih memiliki beberapa kelemahan substansi.
Ia mencontohkan titik tekan perlindungan anak yang lebih banyak mengarah soal pengasuhan dan pidana hukum atau ancaman, bukan pada soal pencegahan agar anak dapat terjamin hak-haknya dan sekaligus terpenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya.
Begitu pula soal hukuman bagi pelaku, menurut dia, fakta lapangan yang menunjukkan tindak kekerasan pada anak terus meningkat membuat banyak pihak menggugat rendahnya hukuman yang tertera dalam undang-undang perlindungan anak, dan meminta DPR mengubahnya menjadi hukuman yang lebih membuat jera, seperti dikebiri, hukuman seumur hidup hingga hukuman mati.
Ledia menyatakan dukungannya, namun selain masalah hukuman, beberapa masalah lain harus juga diperbaiki agar tercapai upaya perlindungan anak yang lebih komprehensif.
"Sejak awal harus membuat mekanisme agar anak terlindungi dari kemungkinan mendapat tindak kekerasan," katanya.
Perlindungan itu harus dimulai dari dalam rumah, di lingkungan sekolah, di lingkungan bermain, hingga di tengah masyarakat umum.
"Kondisi ini dibutuhkan satu ketegasan di dalam undang-undang untuk mendorong tindakan pencegahan munculnya kekerasan pada anak di dalam keluarga, institusi pendidikan, dan masyarakat umum," kata Ledia
Selain itu Ledia juga mengingatkan faktor situasi keluarga yang semakin berjarak antara orangtua dan anak, sementara paparan nilai negatif dari lingkungan luar semisal dari tayangan televisi, internet, atau bacaan yang kerap memberikan contoh tindak kekerasan, pelecehan norma agama dan budaya, gaya hidup bebas dan pornografi.
Hal itu, menurut dia menjadi poin berikut yang juga harus diformulasikan pencegahannya di dalam revisi undang-undang ini.
"Sebab menjadi kurang efektif kita memberikan hukuman berat pada pelaku kejahatan bila akar atau pemicu masalahnya juga tidak dibenahi. Revisi undang-undang harus meninggikan poin preventifnya dibandingkan tindakan kuratif dan rehabilitatif bagi pelaku maupun korban," katanya menambahkan. (Ant)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...