INDONESIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja
16:23 WIB | Jumat, 06 Juni 2014
Lembaga Pelayanan Kristen: Negara Lindungilah Wargamu!
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Lembaga pelayanan Kristen sangat prihatin dengan peristiwa kekerasan berlatar belakang agama yang baru-baru ini terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan mendesak Pemerintah supaya melindungi warganya yang menjadi korban.
DIY yang selama ini dikenal sebagai provinsi yang sangat toleran, karena mampu menampung semua golongan suku, agama dan penganut kepercayaan bahkan sudah menjadi barometer kedamaian dan toleransi bagi bangsa Indonesia, dinilai mulai terkoyak dengan maraknya kekerasan berbasis agama yang terjadi.
Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen Indonesia (JKLPK Indonesia), lembaga di bawah PGI yang ingin mewujudnyatakan kesejahteraan sosial, kesetaraan, keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan terutama di Indonesia menyatakan keprihatinanya atas kondisi di DIY tersebut.
JKLPK mempertanyakan benarkah Yogyakarta masih bisa menyandang gelar sebagai daerah toleran dan di mana Negara, saat terjadi kekerasan berbasis agama dalam kurun waktu berturut-turut.
Dalam catatan JKLPK, selama satu bulan terakhir saja telah terjadi enam kekerasan berbasis agama.
Intimidasi dan kekerasan yang dialami oleh Amiludin Azis, Ketua Forum Lintas Iman Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dari segelintir kelompok yang menyebut dirinya adalah Front Jihad Indonesia (FJI) menjadi catatan awal kekerasan di tahun 2014.
Jumat, 2 Mei 2014 Amiludin Azis mendapatkan kekerasan berupa caci maki dan pengrusakan mobil di ruang terbuka, berdekatan dengan gedung DPRD Gunung Kidul. Ini adalah tindakan bar-bar di era demokrasi yang dianut oleh bangsa ini.
Masih di bulan yang sama, tanggal 18 Mei 2014 di Kasihan Bantul kembali terjadi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang sama, FJI. Kekerasan itu menimpa Jemaah pengajian rutin. Kelompok tersebut bersama dengan Front Umat Islam (FUI) membubarkan paksa pengajian tersebut dengan alasan pembicara dalam pengajian tersebut adalah penganut Syiah.
Kekerasan selanjutnya adalah saat akan dilaksanakan Paskah Adiyuswa (Lansia) Sinode Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Gunung Kidul. Masih kelompok yang sama, mereka melakukan penolakan kegiatan tersebut. Pemerintah Daerah justru tidak memberikan perlindungan agar pelaksanaan tersebut bisa dilaksanakan, namun memberikan opsi yang mengharuskan paskah dilakukan secara tidak bersama dalam satu tempat.
Penyerangan dan kekerasan fisik juga terjadi di rumah yang sedang digunakan untuk berdoa Rosario. Kamis, 29 Mei 2014 kelompok berjubah datang merusak rumah yang beralamat di kompleks perumahan STIE YKPN Nomor 07 Desa Tanjungsari, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melempari batu.
Mereka juga memaksa pembubaran acara doa tersebut. Tidak berhenti di situ, saat pemilik rumah datang, mereka segera melakukan kekerasan sehingga pemilik rumah mengalami luka parah. Perampasan dan kekerasan kepada jurnalis juga dilakukan oleh kelompok berjubah tersebut.
Masih di pekan yang sama, di hari kelahiran Pancasila, sekelompok orang melakukan protes atas kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Panggukan, Sleman. Kelompok tersebut juga menyerang dan melempari bangunan yang digunakan untuk ibadah dengan batu. Dalam kondisi tersebut, aparat penegak hukum tidak bisa melakukan
Berangkat dari kejadian-kejadian tersebut, JKLPK menyatakan sikapnya:
1. Mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang tersebut di atas.
2. Meminta kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan berbasis agama yang ada di Indonesia.
3. Meminta kepada Polri untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi dan menyeru kepada Kapolri untuk memberikan pernyataan yang sesuai dengan konstitusi di Indonesia.
4. Meminta representasi negara di Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai dari Gubernur DIY, Bupati Gunung Kidul, Bupati Bantul dan Bupati Sleman untuk memberikan perlindungan kepada seluruh warga negaranya dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan agama dan keyakinannya.
5. Meminta kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk menggunakan hak keistimewaannya dalam mendorong Kepolisian untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta secara adil, tidak diskriminatif dan tidak intimidatif. (PR)
BERITA TERKAIT
KABAR TERBARU
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...