LHI dan Fathanah Didakwa Pasal Berlapis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaq (LHI) beserta kawan lamanya, Achmad Fathanah dikenai pasal-pasal berlapis, tidak hanya pasal korupsi tetapi kejahatan tindak pidana pencucian uang. Pernyataan ini diungkapkan salah satu dari tim Jaksa Penuntut Umum, Avni Carolina, dalam sidang pembacaan dakwaan kasus korupsi kuota impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq dan Achmad Fathanah, yang berlangsung pada Senin (24/6) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Pada persidangan yang seharusnya dilangsungkan bersama-sama itu, Achmad Fathanah menjalani persidangan pada pukul 14:00, sementara Luthfi Hasan Ishaaq disidangkan terlebih dahulu mulai pukul 10:00, dalam dakwaan primer, Luthfi Hasan Ishaaq dijerat dakwaan primer, yakni tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara dan pejabat negara, “Terdakwa saat ini dijerat pasal 12 huruf a atau b sebagaimana terdapat dalam pasal 5 ayat 2 atau pasal 11.” seperti diungkapkan salah satu tim Jaksa Penuntut Umum KPK, Avni Carolina.
“Terdakwa LHI, sebagai anggota DPR turut bersama-sama dengan Achmad Fathanah dalam kurun waktu tertentu hingga Januari 2013 bertempat di Angus Steak House, Senayan City, Jakarta Selatan. Menerima hadiah atau janji berupa uang sebesar satu miliar rupiah dari Maria Elisabeth Liman, selaku Direktur Utama PT. Indoguna Utama yang diserahkan oleh Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi, keduanya Direktur Operasional PT Indoguna Utama karena untuk menggerakkan sesuatu yang tidak patut sebagai sesuai jabatannya. “ ujar Jaksa Penuntut Umum, Rini Triningsih.
Dalam kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi, Luthfi dan Fathanah diduga menerima pemberian hadiah atau janji terkait pengurusan tambahan kuota impor daging sapi untuk PT Indoguna Utama. Hadiah atau janji tersebut diduga mereka terima dari Direktur PT Indoguna, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi. Keduanya sudah dituntut 4,5 tahun penjara dua minggu sebelumnya.
LHI melanggar UU 27 tahun 2009 tentang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat yakni penyelenggara negara dilarang menerima gratifikasi yang terkait jabatannya, yakni melanggar pasal 378 “Anggota DPR, DPRD Kabupaten dan Kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dilarang menerima gratifikasi.” ujar Avni Carolina.
Dakwaan sekunder adalah yang dikenakan berkaitan dengan Pencucian Uang, yakni menyamarkan asal-usul kekayaannya dan memindahkan kekayaanya keluar dari rekening pribadinya.
“Terdakwa (LHI) selaku penyelenggara negara dipengaruhi bersama-sama dengan Achmad Fathanah untuk melakukan berbagai transaksi terselubung yang guna menyamarkan asal-usul kekayaannya yang tidak dicantumkan dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) Perubahan,” menurut Siswanto Karjono.
Siswanto Karjono, Jaksa Penuntut Umum KPK, menyebutkan bahwa meningkatnya kekayaan Luthfi Hasan Ishaaq yang tertera dalam LHKPN lebih banyak karena tidak melaporkan kekayaannya, terutama setelah ia menjadi anggota komisi I DPR-RI pada tahun 2004. Sebagian besar transaksi-transaksi keuangan tersebut tidak dicantumkan dalam “LHKPN-Perubahan atau disamarkan dalam bentuk lain. Antara lain kartu kredit, mobil dan rumah, harta kekayaan LHI menjadi lebih dari Rp. 1.466.000.000.000. Luthfi Hasan Ishaq menerima sejumlah uang yang berasal dari staf anggota PKS, tetapi Luthfi Hasan Ishaq tidak melaporkan atau mencamtumkannya di LHKPN perubahan. Terdakwa tidak melakukan LHKPN-P setelah menjabat anggota DPR RI tahun 2004 hingga 2009.” tutur Siswanto.
Editor : Yan Chrisna
Mendikdasmen Minta Guru Perhatikan Murid untuk Tekan Kasus B...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti, memi...