Li Chengpeng dan Suara Rakyat
SATUHARAPAN.COM – Nama Li Chengpeng sangat dikenal sebagai komentator sepakbola di China. Kini, ia disebut-sebut sebagai tokoh penting terbaru yang jadi target dari perang Pemerintah China melawan kebebasan berbicara.
Tom Phillips dari The Telegraph menjulukinya “John Motson” di dunia sepakbola China. Motson adalah komentator televisi terkenal asal Inggris yang berkarya 1971 – 2008. Li juga dikenal sebagai penggemar Gary Lineker, dan pernah mengajari Wayne Rooney beberapa baris bahasa gaul Mandarin.
Tetapi, Li Chengpeng (45), sekarang menjadi salah satu duri tajam di mata Pemerintah China. Li telah membuat marah pihak berwenang China. Ia komentator yang sangat vokal, dan mempunyai pengaruh besar mengingat ia punya tujuh juta pengikut di media online.
Pada hari Kamis (6/3), ia menghadapi ancaman dari polisi Beijing. "Sebagai public figure, Anda harus bertanggung jawab atas apa yang Anda katakan dan lakukan," polisi memperingatkan dia secara terbuka.
Namun, ia merespons ancaman itu dengan mengatakan, "Haruskah saya menunggu Anda di rumah, atau saya harus menyerahkan diri?"
Mengubah Li
Gempa bumi melanda Sichuan pada 2008. Bencana itu pula, yang disebut-sebut sebagai salah satu bencana alam terburuk sepanjang sejarah China, mengubah Li dari seorang pecandu olahraga sepakbola menjadi pengkritik sosial.
Sejak itu, tak ada lagi sosok Li, yang berjuluk “Big Eyed Li”, dengan penampilan khas dandanan rambut ala boy-band dan tindik menghiasi area mata. Juga tak ada lagi pencandu olahraga sepakbola, penggemar musik rock, penikmat minuman bir, dan penulis cerita cinta. “Saat itu saya hanya memimpikan kehidupan yang nyaman dan bahagia," kata Li kepada The Telegraph.
"Tapi, ketika Anda melihat beberapa ribu jiwa mati di depan mata, itu akan mengubah banyak hal dalam diri Anda. Ada ‘medan pertempuran’ lebih besar yang saya harus hadapi, " katanya.
Saat itu ia langsung bergabung dengan misi penyelamatan. Tapi, kekecewaan yang ia hadapi. Di zona bencana, ia melihat dari dekat bagaimana anak-anak muda yang tak terhitung jumlahnya menjadi korban tewas karena sedang berada di dalam sekolah-sekolah tak layak yang didirikan oleh pejabat-pejabat korup dan tidak kompeten.
Memendam kemarahan, ia kembali menekuni sepakbola, namun ada kesibukan lain yang ia lakukan, yakni berbicara. Lulusan sastra yang menggemari Chopin dan The Beatles itu menulis apa saja yang ia ingin tulis. Ia mencontohkan pengalaman penulis terkenal Ernest Hemingway saat menyaksikan Perang Saudara Spanyol, yang mengubah pandangannya. “Tanggung jawab datang bukan dari moral tetapi dari kemanusiaan," katanya.
Dalam lima tahun terakhir, ia menuliskan luapan kemarahannya, dan gigih melawan korupsi dan ketidakadilan. Tulisan-tulisannya tentang keamanan pangan, sensor, hingga kebijakan satu anak yang diterapkan Pemerintah China, masing-masing menyebar bagai virus, membuatnya menjadi ikon untuk kaum muda liberal China.
Dalam salah satu esainya yang paling banyak dibaca, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan ulang oleh New York Times, ia mengungkapkan ribuan anak sekolah yang tewas dalam bencana gempa bumi 2008 di Sichuan. Ia menuliskan anak-anak sekolah itu sejatinya tewas karena "tangan-tangan kotor orang sendiri".
Dianggap Pengkhianat
Karena kecenderungannya menyuarakan ketidakbenaran itu beberapa orang sekarang menyebutnya pengkhianat. Beberapa yang lain menyebutnya agen “setan asing". "Bagaimana mungkin bisa menjadi agen setan asing kalau saya bahkan tidak memiliki green card Amerika? Bagaimana bisa menjadi agen asing ketika tidak seperti banyak dari elite China, anak saya tidak mengendarai Ferrari atau belajar di universitas asing bergengsi, bahkan tidak memiliki real estate apa pun di Amerika Serikat atau Eropa," ia menggambarkan.
Ran Yunfei, penulis China terkenal dan aktivis, mengatakan Li tidak diragukan lagi adalah pengkritik pemerintah paling berani, "Dia mampu mencapai keseimbangan antara berbicara bebas dan menghindari kekerasan. Ada banyak orang berani di China, tetapi hanya sedikit dapat mencapai keseimbangan itu."
Di negara di mana perbedaan pendapat jarang ditoleransi, sikap Li tentu tidak lepas dari pengawasan pihak keamanan.
Tulisannya juga memicu benturan dengan ekstrem kiri China. Pada Januari tahun lalu, kepalanya dipukul. Dalam suatu acara penandatanganan buku di Beijing, sebuah pisau dapur dilemparkan ke arahnya.
"Li adalah pengkhianat, yang melakukan tidak lebih dari mendistorsi sejarah dan menyesatkan masyarakat, khususnya kaum muda," demikian satu pemrotes melemparkan tuduhan melalui surat kabar Hong Kong South China Morning Post.
Li memang bukan tipe pembangkang konvensional. Penulis esai berlidah tajam itu, yang juga gemar menikmati musik rock dan musik-musik The Beatles itu, hanya ingin melukiskan dirinya sebagai patriot perubahan, bukan menjatuhkan sistem.
Namun demikian, keterusterangan Li telah membuat terkesima teman-teman dekatnya. Tahun lalu seorang teman di Beijing mengirimi penulis kelahiran Xinjiang itu rompi khusus demi menghindarkannya dari serangan tusukan dan menyarankannya untuk menggunakannya selama tampil di depan publik.
Sejauh ini, belum merasa perlu mengenakannya. Sebaliknya dia menghadapi orang-orang yang menuduhnya pengkhianat dengan kalem, "Saya bukan pengkhianat negara." (The Telegraph)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...