Lima Isu LGBTI yang Mungkin Tidak Disadari
AUSTRALIA, SATUHARAPAN.COM - Anggota komunitas lesbian, gay, biseksual, transeksual dan interseksual (LGBTI) mengatakan perjuangan global untuk mendapatkan kesetaraan hak lebih penting daripada perjuangan agar pernikahan pasangan sesama jenis diterima secara hukum atau tidak.
Kelompok LGBTI menghadapi tantangan spesifik dalam perjuangan global mereka untuk mendapatkan kesetaraan dan pengakuan melampaui penikahan, kata kalangan kuasa hukum mereka.
Meskipun pernikahan sesama jenis merupakan isu yang penting bagi banyak kalangan LGBTI, tapi ada hak dasar warga LGBTI lainnya yang ditolak pada tahun 2015.
Program ABC #Talk About It dalam seri terbaru yang akan dimulai penayangannya hari Kamis (2/7) akan mendiskusikan masalah LGBTI.
Berikut lima isu di seputar LGBTI yang mungkin tidak Anda sadari.
1. Homoseksual masih dianggap kejahatan
Hubungan seks antara orang dewasa sesama jenis masih dilarang di 76 negara, menurut Asosiasi Lesbian dan Gay Internasional (ILGA).
Pelanggaran hukuman ini dikenakan sanksi yang beragam mulai dari denda, pemenjaraan hingga hukuman mati.
Di dalam laporannya, ILGA menyebut negara yang masih mengkriminalkan homoseksual sama saja dengan mensponsori Homophobia. ILGA mengatakan daftar itu tidak memasukkan negara seperti Rusia dan Lithuania yang masih memberlakukan hukum propaganda anti gay yang juga turut mengakibatkan dampak yang sangat merusak pada komunitas LGBTI.
"Kita menyaksikan ada beberapa negara yang tidak lagi memberlakukan hukuman mati, tapi beberapa negara juga terus berupaya memperluas hukuman terhadap pelaku hubungan sesama jenis,” kata aktifis anggota Amnesti International Australia, Senthorun Sunil Raj.
"Kondisinya sangat mengkhawatirkan, karena Kita masih menyaksikan langkah maju dalam upaya untuk tidak mengkriminalkan homoseksual di India ternyata telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung mereka satu tahun yang lalu,” katanya.
"Kejahatan, pelecehan, penyuapan, intimidasi – ini merupakan pengalaman hidup yang terus dihadapi oleh mereka yang diidentifikasi sebagai gay, lesbian, biseksual, transgender dan interseksual dibanyak negara di dunia,” kata dia.
"Meskipun mereka tidak dikriminalisasi secara langsung dan hukum yang berlaku tidak mengatur tindakan semacam itu, tetapi kekerasan terhadap mereka terus berlanjut dan pelakunya mendapatkan impunitas."
2. Pencari suaka yang gay sangat rentan
Organisasi yang mengurus pengungsi, pencari suaka dan migrasi (ORAM) memperkirakan secara global ada 175 juta orang LGBTI yang hidup di negara-negara di mana mereka rentan dihadapkan ke pengadilan karena orientasi seksual mereka.
Setiap tahun ada sekitar 17.500 orang yang terpaksa mengungsi meninggalkan negara mereka, dan hanya kurang dari 2.500 yang diberikan status pencari suaka berdasarkan orientasi seksual atau identitas gendernya.
Raj mengatakan pencari suaka gay yang ditahan di pusat penahanan di Pulau Manus Papua Nugini dan Nauru mengalami ‘kekerasan, intimidasi dan pelecehan seksual hanya karena mengekspresikan diri mereka sendiri.
Menurut Raj hal lain yang luar biasa mengkhawatirkan adalah pejabat imigrasi yang memproses klaim pencari suaka berdasarkan stereotype dan asumsi mengenai orang LGBTI.
"Pertanyaan mereka umumnya melibatkan pertanyaan berapa banyak partner seksual yang mereka miliki, apa kelompok gay atau lesbian yang Anda ikuti, apa klub atau bar yang sering mereka kunjungi,” katanya.
"Saya menganggap diri saya sebagai pria gay yang cukup berpendidikan dan saya hanya tahu sedikit tentang Oscar Wilde atau pegulat Greco-Roman dan kemungkinan saya tidak lolos tes ‘otentifikasi gay’ yang mereka tanyakan kepada para pencari suaka yang mencari keamanan di Australia.”
3. Diskriminasi LGTBI juga terjadi di sektor pendidikan
Australia membanggakan dirinya sebagai negara yang merayakan toleransi dan keberagaman.
Namun demikian, berdasarkan Laporan Komisi HAM Australia tahun 2015 lalu tercatat lebih dari 70 persen warga LGBTI mengalami kekerasan, pelecehan maupun bullying karena alasan orientasi seksual mereka, gender maupun status interseksual mereka.
"Bullying di sekolah-sekolah sangat memprihatikan karena banyaknya jumlah pelajar yang melaporkan kasus pelecehan homophobia dan transphobia," kata Raj.
"Baru-baru ini, laporan berjudul Growing Up Queer menyoroti kalau ada 33 persen orang yang menjadi sasaran perlakuan bullying karena orientasi seksual mereka ataupun identitas gendernya berusaha melukai dirinya sendiri.
"Di New South Wales, meluasnya pengecualian atas undang-undang anti-diskriminasi telah memungkinkan siswa dapat diusir atas dasar orientasi seksual atau identitas gender."
Diskriminasi terhadap warga LGBTI juga tidak terbatas pada halaman sekolah.
"Guru bisa dipecat karena mengungkapkan fakta bahwa mereka tengah menjalin hubungan dengan seseorang dari jenis kelamin yang sama," kata Raj.
4. Ketidaksetaraan dalam hukum keluarga
Pasangan sesama jenis masih berjuang untuk mendapatkan hak agar bisa mengadopsi anak di beberapa negara bagian termasuk Kawasan Utara (Northern Territory), Queensland, Australia Selatan dan Victoria.
"Kesetaraan pernikahan kerap dibicarakan sebagai satu-satunya isu diskriminasi hubungan utama yang dihadapi pasangan sesama jenis di Australia," kata Raj.
"Meski demikian, hukum keluarga yang berlaku saat ini tidak konsisten atau tidak berlaku sama di antara negara bagian artinya anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dari pasangan sesama jenis ditolak pengakuan hukumnya.”
"Ini artinya anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua dari pasangan sesama jenis melalui proses pengangkatan anak, melalui pengaturan orang tua tiri juga ditolak perlindungan hukumnya memiliki dua orang tua,” kata dia.
Berdasarkan data Biro Statistik Australia tahun 2013, anak-anak dari orang tua gay atau lesbian meliputi 0,1 persen anak-anak di bawah umur di Australia.
5. Warga LGBTI merupakan korban kekerasan rumah tangga
Proyek Anti-Kekerasan (AVP), sebuah kelompok advokasi korban Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mengatakan KDRT dialami oleh 1 dari 3 warga LGBTI. Angka ini sama dengan jumlah rata-rata korban KDRT di kalangan perempuan non LGBTI.
Meski demikian, stigma mengenai homoseksualitas, transgender atau identitas interseks kerap mencegah korban mencari dukungan.
"KDRT dari keluarga terorisme merupakan masalah yang besar di Australia,” kata Raj.
"Orang LGBTI menghadapi tingkat kekerasan yang luar biasa di dalam keluarga, apakah yang dilakukan oleh orang tua mereka maupun pasangan mereka.”
"Misalnya, seseorang yang menjadi subyek pelecehan dari pasangan mereka mungkin takut untuk mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada orang lain jika mereka sebelumnya belum secara terbuka menunjukkan orientasi seksual mereka sebelumnya.”
"Hal ini membatasi akses mereka terhadap layanan dan jaringan dukungan," kata dia. (radioaustralia.net.au)
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...