Lima Strategi Sukses yang Dipakai Berbagai Negara untuk Kendalikan COVID-19
AMERIKA SERIKAT, SATUHARAPAN.COM – Penyebaran virus corona di seluruh dunia membawa dampak besar tersebarnya kepanikan, ribuan kasus setiap hari, penutupan kota dan negara, pembatalan penerbangan, festival, dan berbagai kegiatan lainnya.
Eropa kini menjadi pusat penyebaran. Asia berangsur pulih sebagian, tapi sebagian lagi sedang bersiap menghadapi gelombang besar.
Namun, di tengah berita-berita ini, sekelompok negara berhasil mengendalikan penyebaran virus - yang sudah menginfeksi lebih dari 200.000 orang dan menewaskan lebih dari 8.000 orang lainnya.
"Ada beberapa negara yang berhasil mengambil langkah untuk mengendalikan wabah ini, dan menurut saya kita bisa belajar dari mereka," kata ahli penyakit menular Tolbert Nyenswah, profesor di Johns Hopkins University Bloomberg School of Public Health, yang dilansir bbc.com, pada Sabtu (21/3).
"Di China kasus sudah berkurang, tapi langkah sangat agresif yang mereka lakukan tak mudah ditiru oleh negara-negara demokratis. Di beberapa negara lain telah melakukan langkah berbeda yang sama agresifnya, dan mereka berhasil,” katanya.
Taiwan, misalnya, dengan jumlah penduduk 23,6 juta dan bertetangga dengan China, hingga hari Senin (16/03), melaporkan 67 kasus, dan satu kematian selama lebih dari dua bulan mereka melawan virus corona.
Sementara itu Hong Kong (dihuni 7,5 juta penduduk dan berbatasan langsung dengan China) mencatat adanya 155 infeksi dan empat kematian selama dua bulan.
Jepang yang populasinya 120 juta, kasusnya tak melebihi 800, sedangkan Korea Selatan melaporkan 8.000 kasus, tetapi mereka berhasil menekan infeksi baru dan jumlah kematian turun drastis dalam minggu-minggu terakhir.
Menurut Prof Nyenswah, hasil-hasil di negara-negara ini tidak hanya bergantung pada lokasi geografis atau jumlah penduduk (sekalipun itu memainkan faktor besar dan bisa sangat berpengaruh), tetapi lebih banyak dari kebijakan yang inovatif, kesiapan, dan respons yang cepat.
Apa langkah-langkah yang lebih efektif?
Tes, Tes, dan Lebih Banyak Tes
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan para ahli yang ditanya BBC Mundo. sepakat bahwa deteksi cepat, merupakan faktor utama dalam menahan penyebaran pandemi.
"Kita tak bisa mengambil langkah atau tahu dampak sesungguhnya dari virus ini jika kita tak tahu berapa orang yang telah terinfeksi," kata Nyenswah.
Krys Johnson, pakar penyakit menular di Temple University, Amerika Serikat, sepakat bahwa faktor ini membuat hasil berbeda antara satu negara dan negara lain.
Pengetesan memperlihatkan hasil yang lebih baik, sementara di tempat lain kasus meningkat dengan pesat.
"Korea Selatan mengetes lebih dari 10.000 orang sehari yang berarti orang yang mereka tes dalam dua hari lebih banyak daripada orang yang dites di Amerika dalam sebulan," katanya.
Dalam jumpa pers hari Senin (16/03), Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, bahwa tes bagi siapa pun yang punya gejala merupakan "tulang punggung" bagi penghentian penyebaran pandemi ini.
Namun, ia mengingatkan, banyak negara yang terus melakukan pemeriksaan hanya terhadap pasien yang punya gejala serius. Ini bisa membuat catatan statistik keliru bahkan membiarkan orang dengan gejala ringan, padahal terinfeksi, terus menyebarkan virus.
Isolasi Mereka yang Terinfeksi
Johnson berkata, pemeriksaan kesehatan tak hanya berujung pada isolasi mereka yang sakit dan mencegah virus berkembang lebih luas, tetapi juga membuka jalan untuk mendeteksi kemungkinan infeksi yang belum berkembang menjadi gejala.
"Korea Selatan dan China telah melakukan kerja luar biasa dalam melacak, mengetes, dan mengendalikan warga mereka," katanya.
Menurutnya, China sangat waspada dalam mendeteksi kasus-kasus potensial yang bisa jadi merupakan salah satu penyebab turun drastisnya infeksi baru yang dilaporkan.
"Orang demam dikirim ke 'klinik demam' dan dites untuk flu dan COVID-19. Ketika hasilnya positif COVID-19, mereka diisolasi di tempat yang disebut 'hotel karantina' untuk mencegah penularan ke anggota keluarga," kata Johnson.
Tak seperti China, di Taiwan, Singapura dan Hong Kong, sekalipun tak ada situs karantina, aturan yang ditegakkan adalah mengatur agar orang tetap berada di rumah dengan menerapkan denda yang kadang besarnya bisa mencapai Rp47 juta.
Namun, menurut Nyenswah, melacak potensi infeksi merupakan landasan utama dari strategi ini.
Ia mengingatkan, pemerintah Taiwan dan Singapura mengembangkan strategi untuk melacak orang yang kontak dengan pasien yang sakit.
Siasat itu dilakukan mulai dari melakukan wawancara hingga melihat kamera keamanan dan catatan perjalanan, hotel, serta pengujian kepada mereka yang mungkin terpapar.
"Contohnya, pada tanggal 12 Maret, di Hong Kong diduga ada 445 kasus dan dilakukan 14.900 tes di antara orang yang kontak untuk mendeteksi kemungkinan infeksi. Hasilnya, diketahui 19 orang positif," katanya.
Persiapan dan Reaksi Cepat
Menurut Nyenswah, yang pernah melawan Ebola di Afrika Barat, salah satu elemen dasar untuk pengendalian virus adalah bertindak cepat sebelum penularan meluas di komunitas.
"Negara seperti Taiwan dan Singapura memperlihatkan langkah cepat untuk mendeteksi dan mengisolasi kasus baru. Ini bisa jadi faktor penentu dalam mengendalikan penyebaran," katanya.
Dalam artikel yag diterbitkan di Journal of the American Medical Association, respons di Taiwan memperlihatkan bahwa pengendalian mereka berasal dari cara yang telah mereka kembangkan untuk peristiwa sejenis. Tahun 2003 mereka membuat komando terpusat untuk mengendalikan epidemi.
Badan ini, yang mencakup beberapa agensi penyelidikan dan pemerintahan, dibentuk sesudah krisis yang disebabkan oleh SARS. Sejak itu mereka melakukan berbagai langkah persiapan dan penyelidikan untuk menanggapi kemungkinan epidemi.
"Persiapan dan langkah cepat sangat penting dalam tahap awal wabah. Di Eropa dan Amerika Serikat, kita menyaksikan kurangnya persiapan dan lambatnya tanggapan," kata Nyenswah.
Sebelum dipastikan terjadinya penularan antara manusia di pertengahan Januari, Taiwan telah mulai memeriksa semua penumpang dari Wuhan, tempat pertama kali wabah terjadi.
Hong Kong mulai menerapkan deteksi temperatur mulai tanggal 3 Januari dan menerapkan karantina 14 hari bagi turis yang masuk wilayah mereka.
Setiap dokter, diinstruksikan melaporkan semua pasien yang demam atau punya masalah pernapasan akut serta sejarah bepergian ke Wuhan.
"Sekali lagi, faktor waktu adalah kunci," katanya.
Jaga Jarak
Menurut Nyenswah, ketika penularan pertama dilaporkan di sebuah komunitas, langkah pencegahan sudah sulit diterapkan. Maka langkah berikutnya, seperti menjaga jarak (social distancing), lebih efektif untuk mencegah pihak yang paling rentan terhadap penularan.
"Sekali ada penyakit ini di satu negara, langkah pencegahan tidak lagi tepat. Anda harus mulai mengambil langkah yang tepat atau kehilangan kemungkinan penghentian yang efektif terhadap wabah ini," katanya.
Menurutnya, kecepatan penerapan instruksi untuk jaga jarak seperti di Hong Kong dan Taiwan adalah kunci untuk mengurangi penularan.
Hong Kong, telah meminta orang dewasa untuk bekerja dari rumah sejak akhir Januari, serta menutup sekolah dan kumpul-kumpul.
Langkah ini ditiru di banyak negara, tapi menurut Johnson, kuncinya adalah seberapa cepat keputusan itu dibuat.
Singapura misalnya tak pernah menutup sekolah karena adanya dampak ekonomi bagi keluarga yang punya anak kecil.
Strategi yang dilakukan, menurut koran The Straits Times adalah mengetes dan mengawasi murid dan pengajar setiap harinya.
Mempromosikan Gaya Hidup Higienis
Sejak wabah virus corona mulai dilaporkan terjadi di luar China, WHO berkeras menyarankan untuk jaga jarak, mencuci tangan secara rutin, dan gaya hidup higienis guna mencegah penyebaran virus.
"Banyak negara di Asia yang belajar dari pengalaman SARS di tahun 2003. Di sana juga ada kesadaran menjalankan hidup higienis, tak hanya untuk menghindar penyakit, tapi juga agar tak menulari orang lain. Sangat penting dalam kasus ini," kata Nyenswah.
Di Taiwan, Singapura dan Hong Kong, banyak tersedia cairan antibakteri di jalan. Pemakaian masker juga biasa dilakukan, bahkan sebelum wabah virus corona.
Pemerintah Taiwan mempromosikan cuci tangan lewat internet sembari memperkuat mekanisme pembersihan jalan dan tempat-tempat umum.
"Ini satu faktor yang kadang terlupa di tengah langkah-langkah drastis yang sedang diambil. Menurut saya langkah-langkah yang dilakukan oleh warga seperti cuci tangan terbukti merupakan salah satu yang paling efektif," kata Nyenswah. (bbc.com)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...