Logika Ruhut Sitompul Soal Revisi UU KPK
Jakarta, Satuharapan.com - Ruhut Sitompul, anggota yang menjadi coordinator jurubicara fraksi Fraksi Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat seringkali dicibir orang karena pernyataannya yang vulgar. Tetapi pimpinan KPK di jaman Abraham Samad pernah melontarkan pujian kepadanya. Pujian itu kira-kira berbunyi demikian: “Ruhut itu walaupun begitu (tidak jelas apa yang dimaksud dengan kata begitu – pen), tetapi dia tidak pernah korupsi”.
Pernyataan-pernyataan Ruhut memang sarkastis! Kadang malah vulgar langsung menohok orang dan sinis. Seperti dalam gonjang-ganjing politik akhir-akhir ini menyangkut usulan revisi UU tentang KPK. Walaupun Partai Demokrat belum mengeluarkan pernyataan resmi apakah akan mendukung atau menolak revisi, Ruhut sudah dengan lantang mengelaurkan pernyataan yang menyindir PDIP sebagai pengusul revisi. Kata Ruhut, “KPK dilahirkan ketika Ketua Umum PDIP Ibu Megawati menjadi Presiden. Sekarang ketika Jokowi yang dicalonkan PDIP jadi Presiden malah PDIP yang mengusulkan revisi UU KPK”,
Pernyataan Ruhut Sitompul itu menggambarkan sinisme yang luar biasa! KPK memang dilahirkan ketika Megawati menjadi Presiden, dan kini yang ngotot untuk melakukan revisi justru PDIP yang Ketua Umumnya Megawati. Selain fraksi PDIP, Menkumham yang berasal dari partai bergambar banteng moncong putih itu, memberikan dukungan sepenuhnya atas revisi tersebut.
Ruhut yang kemudian didukung oleh Partai Demokrat yang dipimpin oleh SBY memberikan gambaran yang begitu jelas tentang penolakannya. Ia mengemukakan pendapatnya dengan logika demikian: kenapa KPK tidak memiliki wewenang untuk menerbitkan SP3 (Surat Penghentian Penyelidikan dan :Penyidikan), hal tiu supaya mendorong KPK hati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. “Buktinya orang yang dinyatakan tersangka oleh KPK tidak ada yang lolos, semua dijatuhi hukuman”, kata Ruhut.
Logika Ruhut itu sangat tajam. Sekarang ini salah satu point yang diusulkan untuk revisi adalah pemberian wewenang kepada KPK untuk mengeluarkan SP3. Kalau kita mengikuti logika Ruhut, dengan adanya kewenangan menerbitkan SP3, justru dapat mendorong KPK untuk secara sewenang-wenang menetapkan seseorang sebagai tersangka!
Hal ini justru akan menunjukkan kelemahan KPK, karena penyidikan dan penyelidikan terhadap seseorang dapat dihentikan secara sepihak oleh KPK. Bisa jadi SP3 diterbitkan karena KPK memang tidak serius atau terburu-buru dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, atau karena kepentingan politik sebuah kelompok KPK mendapat intimidasi dan tekanan yang luarbiasa dan dipaksa menerbitkan SP3.
Gejala yang kedua itulah yang dikawatirkan banyak pihak! Bukankah sekarang ini partai politik memiliki kekuatan yang luarbiasa dan siapapun bisa melakukan intervensi terhadap KPK.
Contoh yang paling gamblang adalah Novel Baswedan, penyidik KPK yang diusulkan untuk menjadi pejabat di BUMN! Ini lelucon yang tidak lucu tetapi justru memalukan bangsa karena ternyata pengelolaan Negara ini carut marut! Bagaimana logikanya pimpinan KPK bisa mengusulkan seseorang masuk ke BUMN? Bahkan Kapolri, Jaksa Agung atau Presiden pun seharusnya tidak mempunyai hak untuk memasukkan seseorang menjadi pimpinan BUMN kalau tidak mau disebut kolusi atau nepotisme! Kenapa begitu?
Pejabat BUMN atau Badan Usaha Milik Negara di tingkat direksi dan komisaris ditentukan oleh rapat umum pemegang saham. Presiden memang bisa memerintahkan Menteri BUMN untuk menjadikan seseorang sebagai komisaris atau direktur. Seperti yang dilakukan terhadap beberapa pengamat dan akademisi yang diangkat menjadi komisaris bank pemerintah beberapa waktu lalu. Tetapi kita tahu bahwa itu dilakukan sebagai balas jasa Presiden terhadap tokoh-tokoh intelektual yang dalam kenyataannya kita tahu mereka keluar dari sana tidak lama kemudian.
Seperti para intelektual yang meninggalkan jabatan komisaris bank pemerintah itu, seperti itulah yang akan terjadi pada Novel Baswedan nantinya! Sebab ia memang dididik dalam kepolisian dan memiliki keahlian dalam hal penyidikan! Kalau sampai itu terjadi, bukankah rakyat akan menilai bahwa pengelolaan pemerintahan ternyata amburadul?
Mengikuti logika Ruhut yang menolak pemberian kewenangan SP3 pada KPK sebagaimana dinyatakan itu, kita bisa melihat bahwa sebenarnya proses hukum yang berlangsung terhadap seseorang yang dinyatakan tersangka oleh KPK justru merupakan bentuk pengawasan yang ketat terhadap KPK. Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa tersangka boleh mengajukan pra-peradilan. Melalui pra-peradilan itu KPK diuji, apakah penetapannya sah atau tidak. Kalau KPK menang dalam pra-peradilan, maka ketika memasuki proses peradilan tingkat pertama, kembali KPK diuji. Kalau memang tersangka dapat lolos dari hukuman dan dinyatakan bebas dalam peradilan tingkat pertama, hal itu akan membuktikan bahwa KPK telah melakukan kesalahan. Untuk itu akan diikuti oleh pengadilan tingkat kedua, ketiga dan seterusnya (PK).
Itulah bentuk-bentuk pengawasan yang lebih konkret yang dilak ukan oleh lembaga peradilan yang sangat dijunjung tinggi di Negara ini. Kalau pengawasan terhadap KPK hanya dilakukan oleh sebuah kelompok yang ditetapkan oleh Presiden, terlepas dari siapa orang-orang yang ditunjuk itu, apakah nantinya bisa lepas dari kepentingan politik dan justru sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu?
Betapapun, logika Ruhut Sitompul yang dikenal dalam layarkaca sebagai Bang Poltak dalam menolak revisi UU KPK itu patut diapresiasi dan sekaligus didukung. Bravo Ruhut Sitompul.
Penulis adalah mantan wartawan SINAR HARAPAN/mantan Ketua wartawan DPR dan pengamat politik
Editor : Trisno S Sutanto
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...